Pilpres 2019
Oleh: Erros Djarot
Budayawan

Ada satu peristiwa yang membuat dunia politik di negeri ini tiba-tiba menebar hawa sejuk yang menyegarkan pikiran, hati, dan jiwa seluruh rakyat, dari Sabang hingga Merauke. Andai saja sang pesilat peraih medali emas, Hanifan Yudani, tidak nekat melakukannya, peristiwa yang menyuguhkan kemesraan antara Prabowo dan Jokowi tak akan pernah terjadi dan membahana seperti yang semua rakyat saksikan dan rasakan sekarang ini.

Peristiwanya bermula saat Hanifan berada di deretan bangku VVIP untuk bersalaman dengan para pejabat tinggi negara, tampak di antaranya Megawati, Presiden RI ke-5. Ketika sampai pada giliran berpelukan dengan Prabowo selaku Pembina dan Ketua IPSI, Hanifan dengan santai dan nekat mengulurkan tangannya ke arah Jokowi, Presiden RI, yang membuat bertiga menjadi berada dalam satu pelukan. Saat peristiwa itu diabadikan, wajah dan badan Hanifan justru tenggelam tertutupi sang saka merah-putih yang ia bawa hingga menyelimuti seluruh tubuhnya. Maka yang terekspose hanyalah gambar dimana Jokowi dan Prabowo bermesraan memeluk sang merah-putih dengan penuh ceria dan senyum damai. Peristiwa ini begitu mengharukan dan sangat indah dilihat dan diabadikan oleh jutaan mata rakyat Indonesia.

Dari kacamata seorang sineas, adegan Hanifan melakukan kenekatan memeluk kedua Calon Presiden ini tidak mungkin datang begitu saja. Hal itu terjadi merupakan kerinduan hatinya yang begitu kuat ingin melihat kedua pemimpinnya hidup berdamai dalam rasa persaudaraan yang tinggi. Sehingga alam bawah sadarnyalah yang menggerakkan tangan Hanifan untuk menarik mereka berdua ke dalam pelukan sang merah-putih. Kontan saja, kesan bahwa kedua figur yang belakangan ini begitu diekspos lewat berbagai meme maupun pemberitaan di media sebagai dua musuh bebuyutan yang seakan tengah saling berhadapan dan saling menyerang, saat itu sirna dalam sekejap.

Dengan munculnya berbagai meme dan pemberitaan akan peristiwa pelukan damai ini, keadaan senyap dalam damai begitu terasa mengisi setiap ruang yang ada di dunia politik nasional. Keadaan seperti berada dalam situasi dimana para ‘Kampret’ dan ‘Kecebong’ tengah mati suri. Mereka kehilangan alasan untuk saling bersitegang dan ngotot untuk memperhadapkan jagonya masing-masing. Pelukan damai dalam selimut merah-putih telah membungkam ribuan kompor yang biasanya aktif membakar memanaskan suasana.

Suasana yang begitu damai ini terjadi dan tercipta hanya karena ulah seorang anak bangsa yang selama ini berkeringat, berjuang yang semata hanya ingin memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara yang dicintainya. Ia hadirkan adegan yang mengharukan ini dengan segala kesederhanaan, ketulusan apa adanya. Kalau kemudian muncul pertanyaan; siapa sebenarnya capres yang Hanifan jadikan idolanya? Mungkin ia akan menjawabnya hanya lewat senyuman. Karena jawaban pastinya akan diberikan pada saat ia berada di bilik pencoblosan saat hari H Pileg dan Pilpres tiba.

Bacaan sementara, sang pesilat ini lebih didominasi oleh rasa yang mengedepankan merah-putih sebagai yang harus selalu diperjuangkan untuk menang dalam setiap perhelatan olahraga maupun dalam kehidupan sehari-hari sebagai anak bangsa. Sang olahragawan ini, cenderung lebih memilih untuk mengembangkan wawasan kenegarawanan ketimbang berkubang dalam wawasan seorang politisi yang cenderung menyempit dan menjadi manusia satu dimensi.

Andai saja etos hidup yang demikian ini diwarisi oleh para ‘kecebong’ dan para ‘kampret’, Insha Allah kualitas kehidupan berdemokrasi di negeri ini akan menunjukan peningkatan yang menggembirakan. Tapi bila yang dikembangkan adalah keahlian untuk saling meniadakan lewat ujaran kebencian, rasa permusuhan yang mengikis habis rasa persaudaraan dan semangat gotong-royong yang menjadi dasar dari pijakan budaya kita sebagai bangsa, ya begini lah jadinya. Kualitas kehidupan berdemokrasi di negeri ini tidak akan beranjak dari kawasan angka merah yang bahkan terancam bergerak ke arah minus.

Para ‘kecebong’ dan ‘kampret’ tidak usah menjadi pesilat dan olahragawan untuk bisa bersikap seperti seorang Hanifan Yudani. Cukup hanya menyirami taman hati dengan air kecintaan pada tujuan Indonesia merdeka dan kemerdekaan Indonesia dalam artian yang luas dan sesungguhnya. Kuncinya, berani membebaskan diri dari kebodohan dan keterbelakngan berpikir agar dapat membedakan mana kawan dan mana lawan sesungguhnya. Mana alat dan sarana, serta mana arah dan tujuan, harus pandai kita bedakan! Bukan kebebasan dan demokrasi yang menjadi tujuan; tapi tujuan utama adalah menghadirkan kesejahteraan rakyat dan kemenangan rakyat Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya. Itulah tujuan Demokrasi Indonesia! (*/watyutink)