Lembaga Pemasyarakatan

Oleh: Fadil Aulia

BEBERAPA hari belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan kasus Cai Changpan, seorang narapidana kasus Narkotika pada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas 1 Tanggerang yang melarikan diri. Kasus narapidana yang melarikan diri dari lapas ini pada dasarnya bukanlah merupakan kasus baru di dalam pelaksanaan hukum Indonesia. Pada bulan April yang lalu dua orang narapidana juga melarikan diri dari lapas kelas II A Bengkalis. Pada bulan oktober 2019, lima orang narapidana melarikan diri dari Rutan Kelas II B Wates. Sedikit melihat ke belakang pada tahun 2018 yang lalu, 31 orang narapidana juga melarikan diri dari lapas narkotika kelas II A Doyo, Jayapura. 

Dari beberapa kasus di atas, setidaknya memberikan gambaran bahwa persoalan narapidana yang melarikan diri dari lapas bukanlah persoalan baru dalam pelaksanaan hukum di Indonesia, akan tetapi hal tersebut merupakan persoalan yang terus terjadi setiap tahunnya. Berulangnya kasus narapidana yang melarikan diri tersebut tentunya menjadi sebuah renungan dan pertanyaan besar bagi banyak kalangan. Mengapa hal tersebut terus terjadi?

Berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, menjelaskan bahwa penyebab dari pada larinya seorang narapidana dari lapas ialah karena kondisi lapas yang buruk dan rendahnya tingkat keamanan lapas. Berdasarkan dari penelitian tersebut, meskipun penelitian tersebut dilakukan di Amerika Serikat terhadap lapas-lapas yang ada di Amerika Serikat, tapi setidaknya hasil penelitian tersebut bisa memberikan pandangan kepada kita di Indonesia, yang kasus narapidana yang melarikan diri terus terjadi setiap tahunnya. Apakah penyebab dari pada banyaknya narapidana yang melarikan diri dari lapas di Indonesia salah satunya ialah karena kondisi lapas yang buruk dan rendahnya tingkat keamanan lapas?

Kondisi Lapas di Indonesia
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pembinaan merupakan salah satu faktor penting dalam lembaga pemasyarakatan, yang pada dasarnya ditujukan untuk membina pribadi narapidana agar jangan sampai mengulangi tindak pidana dan mentaati peraturan hukum, serta membina hubungan antara narapidana dengan masyarakat. Akan tetapi hal tersebut, jika dilihat dari kenyataan yang ada hanyalah merupakan suatu konsep, suatu yang seharusnya terjadi. Banyaknya narapidana yang melarikan diri tentunya memberikan gambaran bahwa tidak berjalannya fungsi pembinaan yang diinginkan atau yang dicita-citakan.

Berdasarkan data dari Sistem Database Pemasyarakatan Ditjenpas Kemenkumham yang diakses pada bulan Oktober 2020 bahwa pada dasarnya terdapat kurang lebih 525 lapas dan rutan di seluruh Indonesia. Dari 525 lapas dan rutan tersebut, kurang lebih 77 % di antaranya over kapasitas. Artinya terdapat kurang lebih 390 lapas dan rutan di Indonesia yang melebihi kapasitas. Data tersebut merupakan data yang diambil setelah dikeluarkannya kebijakan pembebasan narapidana oleh Kemenkumham karena terjadinya atau dengan alasan pandemi covid-19. Bisa dibayangkan tentunya, berapa banyak persennya, berapa banyak lembaga pemasyarakatan dan rutan yang over kapasitas sebelum dikeluarkannya kebijakan pembebasan narapidana oleh kemenkumham beberapa bulan yang lalu. Tentunya hal tersebut memberikan gambaran bahwa kondisi lapas di Indonesia sangatlah jauh melebihi kapasitasnya.

Over kapasitanya sebagian besar lapas dan rutan di Indonesia, menurut hemat penulis tentunya sedikit banyaknya akan membawa dampak negatif terhadap beberapa hal. Pertama, dengan over kapasitasnya lapas tentunya akan berdampak kepada adanya  kesenjangan antara jumlah narapidana yang ada dengan jumlah petugas lapas. Dengan adanya kesenjangan tersebut tentunya akan berdampak kepada rendahnya tingkat keamanan lapas. Karena petugas akan kesulitan dalam mengawasi narapidana yang jumlahnya jauh lebih  banyak.  

Kedua, over kapasitasnya lapas akan berdampak kepada tidak berjalannya fungsi pembinaan yang menjadi faktor penting dari sebuah lapas. Adanya kesenjangan antara jumlah narapidana dengan jumlah petugas lapas tentunya akan menyulitkan petugas lapas dalam melakukan pembinaan. Artinya sulitnya petugas lapas melakukan pembinaan akan berpengaruh kepada tidak berjalannya secara efektif fungsi pembinaan yang dilakukan. Tidak berjalannya fungsi pembinaan yang dilakukan oleh lapas sebagaimana mestinya tentunya hal tersebut juga akan membawa dampak kepada hasil pembinaan yang dilakukan oleh lapas melalui petugas-petugasnya. Bermasalahnya hasil pembinaan yang dilakukan oleh lapas tentu saja akan berdampak kepada tidak terbentuknya pribadi-pribadi narapidana sebagai pribadi yang mentaati peraturan hukum, tidak akan mengulangi tindak pidana dan pribadi yang bisa membina hubungan antara narapidana dengan masyarakat.

Di sisi lain terciptanya pribadi yang tidak mentaati aturan hukum karena pembinaan lapas yang tidak berhasil ditambah kondisi lapas yang membuat narapidana terkekang, terhambat  kebebasannya menjadi sebuah alasan pembenaran bagi narapidana terhadap tindakan melarikan diri dari lapas.

Dengan demikian, kondisi terkait larinya narapidana dari lapas di Indonesia tidaklah jauh berbeda dari apa yang terjadi di Amerika serikat, yang berdasarkan hasil penelitian di Amerika sana menyatakan bahwa penyebab dari larinya narapidana dari lapas ialah karena kondisi lapas yang buruk dan rendahnya tingkat keamanan lapas.

Bermasalahnya lapas secara umum dan buruknya kondisi lapas secara khusus menurut hemat penulis sendiri tidak terlepas dari pada masih digunakannya pidana penjara sebagai sanksi utama terhadap pelaku tindak pidana. Ke depan, tentunya kita berharap digunakannya alternatif-alternatif sanksi lain terhadap para pelaku tindak pidana. Sehingga secara perlahan dapat mengurangi bahkan membuat lapas yang ada tidak lagi over kapasitas. (*)

* Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.