UU Ormas

Kastara.id, Jakarta – Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) menyatakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), adalah peraturan yang Konstitusional dan sama sekali tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hal ini disampaikan FAPP saat memberikan keterangan sebagai pihak yang terkait langsung pada gugatan uji materi UU Ormas pada Selasa (6/3) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.

“Secara historis, filosofis, sosiologis dan yuridis serta sesuai dengan asas kemanfaatan dan kepastian hukum, seluruh norma hukum dan asas yang terkandung dalam UU No. 16 Tahun 2017 (UU Ormas) tidak ada yang bertentangan, kami tidak sependapat dengan seluruh dalil-dalil di dalam Permohonan Uji Materi yang diajukan para pemohon,” kata salah satu Kuasa Hukum Pihak Terkait FAPP Fitri Indrianingtyas.

Untuk itu FAPP memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk dapat memberikan Putusan di antaranya menyatakan Permohonan Pemohon Uji Materi dalam perkara PUU NO.2/PUU-XVI/2018 ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard); serta menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2017 konstitusional dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk seluruhnya dan memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Tanggapan FAPP, atas Pasal 1 angka 6 sampai Pasal 21 UU No. 16 Tahun 2017 sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum yang berlaku universal dan tidak mengancam atau merugikan hak konsitusional, karena undang-undang ormas tidak pernah menghilangkan mekanisme pengadilan yaitu dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memeriksa dan mengadili sengketa pencabutan status badan hukum dari suatu ormas. Pemerintah tidak pernah menetapkan suatu peraturan yang melarang kegiatan ormas dan agama tertentu sepanjang kegiatan-kegiatan tersebut tidak bermaksud mengganti Pancasila dengan paham khilafah atau paham lainnya.

Terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas, mengenai paham lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus tetap dimaknai sebagai norma hukum yang melarang seluruh ormas di Indonesia untuk menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi dan norma dasar dalam berbangsa dan bernegara di NKRI, tanpa terkecuali.

Pasal 62 Ayat (2) UU Ormas, norma hukum tersebut sesuai Pasal 28, Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D Ayat 1, Pasal 28 G Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penjatuhan sanksi berupa keputusan pencabutan status badan hukum oleh pemerintah dengan menggunakan asas contrarius actus dilakukan berdasarkan pada fakta fakta dan dasar pertimbangan hukum yang cukup dan beralasan, serta sama sekali tidak menghilangkan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menguji keabsahan dari keputusan tersebut. Contoh faktual penerapan sanksi pencabutan status badan hukum menurut UU Ormas ini adalah dengan dicabutnya Status Badan Hukum dari Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Pasal 80 A UU Ormas tidak bertentangan Dengan Pasal 28, Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D Ayat 1, Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945. Hak asasi setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul dalam bentuk organisasi kemasyarakatan (ormas) tetap dibatasi dengan kekuatan sebuah undang-undang demi terciptanya ketertiban umum di masyarakat. Sepanjang asas dan roda organisasi yang dijalankan oleh suatu Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila, dan Ormas tidak melakukan upaya atau kegiatan untuk mengganti Pancasila maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan akan terkena sanksi hukum sebagaimana yang diatur dalam UU Ormas ini.

Pasal 82A ayat (1) dan (2) Undang-Undang Ormas tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 82A ayat (1) dan (2) UU Ormas hanya dapat diterapkan bagi anggota dan/atau pengurus Ormas yang memang dengan sengaja (Dolus) dan memiliki sikap batin (Mens Rea) untuk terlibat langsung dalam tindak pidana yang diatur dalam UU Ormas. Jadi sanksi pidana dalam UU Ormas bukanlah suatu hal yang perlu dipersoalkan konsitusionalitasnya.

Sidang lanjutan uji materi UU No 16 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (6/3) berlangsung tanpa ada keterangan dari saksi dan ahli.

“Ahli dan saksi belum bisa kita dengarkan keterangannya karena baru menyerahkan makalahnya pagi ini. Padahal seharusnya makalah keterangan tersebut diserahkan dua hari sebelum sidang ke panitera MK,” ujar Ketua MK, Arief Hidayat yang memimpin persidangan.

Sidang akan kembali diagendakan untuk mendengarkan saksi dan ahli dari pemohon pada Selasa (20/3) mendatang. (npm)