Kastara.id, Jakarta – Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman
Khaeron tidak setuju dengan usulan pemerintah agar masyarakat menanam cabai dalam upaya menekan harga cabai yang setiap tahunnya selalu melambung tinggi.
Menurut politisi Partai Demokrat itu, usulan tersebut justru akan membahayakan petani cabai. Karena jika gerakan itu dilakukan maka pada saat tertentu akan terjadi oversuply produksi cabai yang pada akhirnya akan menurunkan harga cabai.
Menurutnya, kalau harga cabai sampai anjlok, maka mereka bisa beralih menjadi petani yang lain, dan di sinilah perlunya satuan wilayah produksi pertanian tersebut. “Jangan sampai Jakarta terpengaruh dengan distribusi cabai dari Sulawesi karena harganya akan sangat mahal akibat dikirim melalui pesawat,” ujarnya.
Kalau ingin menstabilkan harga dan suplay cabai dalam negeri, Herman Khaeron mengusulkan, lebih baik dilakukan zonanisasi produksi pertanian khususnya produksi pangan.
Satuan wilayah produksi atau zonanisasi produksi pertanian ini selain dapat menstabilkan harga dan suplay, juga untuk menjaga kedaulatan pangan.
Misalnya di Cianjur untuk padi organik, Karawang padi hibrida, Brebes untuk bawah merah, Lembang Bandung untuk sayur-mayur, Sulawesi untuk holtikultura, dan sebagainya.
Mahalnya harga pangan, lanjut Herman, disebabkan panjangnya mata rantai distribusi hasil pertanian bahkan hingga delapan sampai sembilan tingkatan. Mulai dari petani, distributor, pengepul, sampai ke pedagang.
“Di samping adanya pemilihan kualitas produk, maka tidak heran kalau harga cabai menjadi Rp 180 ribu/Kg,” kata Herman Khaeron dalam dialektika demokrasi “Memburu Kartel Cabai” bersama anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Golkar Eka Sastra dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (9/3).
Selama ini 80% hasil pertanian seperti beras, kedelai, jagung, kacang, bawang, garam, sayur-mayur, cabai, dan buah-buahan diprokduksi oleh rakyat. Bukan oleh kartel. Karena itu Herman meminta kita berterima kasih kepada rakyat, yang masih bersedia bertani.
Herman Khaeron juga melibat belum ada institusi negara yang bisa diperintahkan untuk mengatasi kelangkaan dan melonjaknya harga-harga tersebut. Bulog misalnya, hanya menangani beras, gula, tepung terigu, dan sebagainya, sehingga tetap melahirkan kartel-kartel, sedangkan yang mampu melawan kartel tersebut hanya pemerintah.
Karena itu, kata Herman, pihaknya akan koordinasi dengan Menteri Pertanian untuk merumuskan kebijakan tersebut. Di samping perlu badan pangan nasional yang bisa langsung menangani produksi, distribusi, pengadaan, dan lain-lain untuk mendekatkan produksi kepada konsumen. Sementara Kemendag RI terlalu banyak jenis pertanian yang ditangani.
SemEntara Eka Sastra menilai lahirnya kartel dan oligarki tersebut akibat tidak terbangunnya tata niaga, petani tidak berdaya, dan tak mempunyai bergaining menghadapi korporasi.
“Seharusnya kita membatasi sistem kuota dengan menerapkan sistem tarif. Apalagi kalau hanya 5–10 orang yang menguasai pasar, inilah yang harus diseimbangkan. Dan itu dibutuhkan intervensi negara, agar tak sepenuhnya diserahkan ke pasar,” ujarnya.
Selain itu, pertanian dari tradisional ke modernisasi agar tidak tergantung kepada hujan, tidak mengalami kelangkaan dan harga terus naik. Sebab, strukutur pasar yang oligarki dengan pasar yang dikuasai beberapa orang, justru mendorong harga melambung tinggi. “Anehnya negara belum hadir,” katanya.
Masinton menilai, sanksi untuk kartel ini masih ringan hanya dipenjara selama 6 bulan. Kartel akan lebih memilih dipenjara dibanding sanksi Rp 25 miliar, sesuai UU No.55 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. “Jadi, menjadi tantangan kepolisian. membongkar kongkalikong, kartel, monopoli dan oligarki harga-harga itu,” ujatnya. (arya)
Leave a Comment