Kastara.ID, Jakarta – Kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan diupayakan tidak akan terulang lagi. Solusinya, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) akan menuntaskan persoalan tapal batas negara.

“Saya selaku Kepala BNPP, salah satu tugasnya adalah yang utama meng-clear-kan garis batas darat, laut dan udara dengan negara tetangga,” kata Mendagri Tito Karnavian, di Jakarta, Kamis (12/3).

Menurut Mendagri, persoalan tapal batas negara di darat berbatasan dengan tiga negara. Sementara di laut dan udara berbatasan dengan 10 negara. Dari semua itu, ada titik-titik yang masih dipersoalkan antara Indonesia dengan negara tetangga. Contohnya dengan Malaysia di wilayah perbatasan Kalimantan. “Di Kalimantan itu ada sembilan titik, di Kalbar, Kaltim, Kaltara. Tapi Alhamdulillah awal tahun ini kita selesaikan dua titik. Jadi masih ada tujuh titik lagi,” ujarnya.

Pada pinsipnya Mendagri menegaskan, pemerintah agresif untuk menyelesaikan persoalan tapal batas, baik itu melalui diplomasi maupun pertemuan-pertemuan formal dan informal. Ini semua dilakukan  supaya tidak terulang lagi seperti kasus dulu, di mana Sipadan dan Ligitan lepas dari Indonesia.

“Kemudian dengan Timor Leste juga kita ada beberapa titik. Paling tidak 3 titik yang perlu kita clear-kan. Kemudian juga di Papua Nugini itu tidak ada permasalahan yang utama, tapi batas titiknya, tapal batasnya panjang 800 km lebih. Titik batasnya ini patoknya masih panjang, jarang, harus dirapatkan lagi, itu kira-kira,” ungkap Mendagri.

Permasalahan lainnya, kata Mendagri, terkait masalah di wilayah laut. Masih ada masalah terkait dengan landas  kontinen, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta teritori laut dengan beberapa negara tetangga. Ini tentunya harus segera di-clear-kan.

“Belum lagi masalah pulau-pulau terluar, pulau-pulau terluar yang kosong sepi, itu ini juga harus diamankan. Jadi kita berusaha untuk menyelesaikan semua persoalan-persoalan batas negara dengan negara lain baik darat, laut dan udara,” katanya.

Tugas lainnya yang tidak kalah penting, menurut Mendagri, terkait dengan lalu lintas barang dan orang di tapal batas yang mesti ditertibkan. Untuk itu, pemerintah sudah menempuh langkah, misalnya dengan  memperbanyak pos lintas batas.

“Kita bersyukur dalam periode pertama Bapak Presiden Jokowi sudah membangun dan memodernisasi tujuh pos lintas batas, tiga di Kalimantan, tiga di NTT berbatasan dengan Timor Leste, dan satu di Papua di Skouw. Tahun ini atas perintah beliau (Presiden Jokowi) ada 11 yang dibangun. Satu sudah selesai di Merauke.

Dan masih ada 10 yang kita harapkan paling lambat awal tahun depan selesai. Sehingga bisa bertambah lagi 11. Baru kemudian ada beberapa lagi yang dibangun secara bertahap sampai 2024,” urainya.

Mendagri juga menyinggung soal perbatasan di Kalimantan. Kata dia, di sana, garis batasnya tidak begitu jelas. Lalu lintas secara tradisional yang bersifat ilegal bisa terjadi jika tidak ada kontrol. Misalnya perlintasan orang dan barang secara ilegal.

“Ya kalau barangnya cuma sembako, kecil-kecilan. Tapi kalau itu narkotik, barang kimia yang berbahaya, detonator untuk bom ikan atau bom teroris, lintas batas orangnya adalah human trafficking, penyelundupan senjata, terorisme, itu kan berbahaya buat negara,” katanya.

Di samping itu kata dia, lalu lintas yang tidak terkontrol otomatis mengurangi pendapatan negara. Khususnya dari bea masuk dan bea keluar.

“Kan seharusnya ada biayanya Negara untuk menambah APBN kita. Nah, itu kira-kira untuk menambah pos lintas batas nasional. Yang terkahir adalah kita ingin memperkuat daerah-daerah perbatasan ini sesuai dengan konsep Bapak Presiden, Nawacita beliau, membangun dari pinggiran. Mana pinggiran itu? Pinggiran itulah perbatasan dan membangun membuat konsep membangun dari pedesaan, supaya tidak terjadi urbanisasi ke kota-kota,” pungkasnya.

Sebelumnya, Mendagri menyebut kawasan perbatasan negara penting sebagai buffer zone bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Ada dimensi kawasan perbatasan untuk mengembangkan daerah perbatasan sebagai daerah frontier artinya daerah gerbang depan yang bisa menjadi jendela bagi kita menunjukkan bagaimana keadaan bangsa kita, sekaligus juga menjadi buffer zone untuk negara kita NKRI,” urainya.

Mendagri menjelaskan, ada dua tugas utama dalam mengelola perbatasan negara. Pertama, pengelolaan dimensi batas wilayah negara yang terdiri dari darat, laut, dan udara. Untuk hal tersebut, tugas utama yaitu bagaimana mengamankan perbatasan negara. Kedua, pengelolaan dimensi kawasan perbatasan sebagai daerah frontier atau gerbang depan suatu daerah.

“Di darat belum selesai penetapan dan penegasan batas wilayah NKRI dan negara tetangga pada beberapa segmen. Jadi, ada batas-batas negara yang belum selesai, belum disepakati, belum maksimal dan belum jelas pemeliharannya terhadap pengawasan tanda batas negaranya,” tuturnya. (ant)