Kastara.id, Jakarta – Finalisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau Corporate Social Responsibility (CSR) diwarnai perdebatan atas pasal 7 yang mengatur tentang pihak-pihak yang memiliki kewajiban dalam menjalankan RUU ini.

Komite III DPD RI hari ini melakukan finalisasi RUU TJSP/CSR dengan sejumlah tim ahli. Beberapa hal yang dibahas antara lain tentang perubahan nama RUU. Rapat menyepakati nama baru untuk RUU ini yakni RUU Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

Ketua Komite III DPD RI, Hardi Selamat Hood menjelaskan pergantian nama dilakukan karena RUU ini hadir untuk mensinergikan kepentingan seluruh pemangku kepentingan. Sehingga seluruh elemen masyaraka,t baik perusahaan maupun nonperusahaan, wajib untuk memberikan kontribusinya dalam mensejahterakan masyarakat.

“Berdasarkan masukan nama RUU ini berganti menjadi TJSL karena tidak hanya perusahaan yang wajib mensejahterakan masyarakat dan lingkungan tetapi juga Persero, CV, Firma, Ormas, Yayasan dan Koperasi,” kata Hardi.

Namun, perdebatan terjadi karena pasal 7 mengatur secara rinci kewajiban untuk melaksanakan TJSL diberlakukan kepada Perseroan, CV, Firma, Yayasan, dan Koperasi yang memiliki aset paling sedikit 1 miliar rupiah dan jumlah karyawan paling sedikit 20 orang.

Wakil Ketua Komite III DPD RI Charles Simaremare mengatakan, kewajiban ini akan sangat memberatkan bila diberlakukan kepada Yayasan dan Koperasi, karena sebagian besar usaha yang dilakukan adalah nonprofit.

Sementara itu, anggota Komite III DPD RI Abdul Azis menilai perlu dipertimbangkan lagi dasar dari penentuan pasal 7, karena seharusnya mempertimbangkan tentang keuntungan yang dimiliki oleh Yayasan atau Koperasi. “Dasarnya dulu harus dilihat, seharusnya tidak melihat dari aset yang dimiliki oleh perusahaan itu tapi seberapa besar keuntungan yang mereka peroleh,” ujar Azis.

Sementara itu, senator asal Banten Ahmad Sadeli Karim memandang perlunya untuk mengkaji dari UU yang telah ada. Ia menilai pasal itu sebaiknya dihapus saja karena berpotensi kontraproduksi atau bertentangan dengan UU lainnya. “Masalah yayasan ataupun Ormas, itu kan sudah ada UU-nya. Jangan sampai kita membuat aturan seperti ini, padahal di UU Yayasan ataupun UU Ormas tidak ada ketentuannya. Nanti akan jadi kontraproduktif,” katanya.

Sependapat dengan Ahmad Sadeli, senator asal Lampung Ahmad Jajuli menyarankan agar ketentuan di pasal 7 dihapus dan dibuatkan ketentuan bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan turunan supaya bisa sesuai dengan perkembangan zaman.

Hal lain yang juga mengemuka dalam pembahasan adalah tentang pemberian sanksi kepada pihak-pihak yang enggan melakukan program TJSL. Anggota Komite III asal Sulawesi Tenggara Abdul Jabbar Toba mengatakan, masyarakat sangat antusias dengan adanya RUU TJSL karena sejauh ini perusahaan banyak yang hanya melakukan produksi tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Sementara program TJSL/CSR seharusnya merupakan kewajiban dari perusahaan terhadap daerah. “TJSL harus terprogram dengan baik, apa yang jadi kebutuhan dari daerah harus disesuaikan oleh perusahaan dan pemerintah daerah. Ketentuan tentang ini harus diatur secara jelas dalam RUU ini,” ujarnya.

Toba menegaskan, agar isi dari RUU TJSL ini mempertegas fungsi dan peran TJSL yang kerap dialih tugas dan fungsinya oleh pemerintah daerah. “RUU TJSL ini harus dipertegas dalam menjalankan fungsi dan peran CSR sehingga tidak bertabrakan dengan pemda,” kata  Toba. (rya)