KKP

Kastara.ID, Jakarta – Produk perikanan yang berkualitas merupakan modal untuk bersaing di era perdagangan bebas. Sejumlah negara pun menggunakan standar sebagai non-tariff barrier untuk mengatur transaksi perdagangannya, sehingga produk perikanan yang masuk dan diperdagangkan di suatu negara harus memenuhi kesesuaian terhadap standar yang dipersyaratkan.

Karenanya, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Artati Widiarti menilai harmonisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) produk perikanan dengan standar internasional Codex menjadi sangat penting untuk memperlancar perdagangan.

Ia pun mengajak pemerintah daerah untuk bersinergi membina, memfasilitasi, dan memberikan berbagai kemudahan terhadap Unit Pengolahan Ikan (UPI) agar mampu berproduksi dengan baik.

“Harmonisasi menjadi bentuk pertahanan untuk melindungi produk dari luar yang tidak berkualitas, serta memberi jaminan perlindungan kesehatan kepada konsumen di negaranya,” kata Artati (19/11).

Artati menambahkan, sinergitas diperlukan lantaran adanya sejumlah faktor sebelum dilakukan harmonisasi standar di UPI. “Berbagai faktor diantaranya risiko ekonomi, persepsi dan keberterimaan resiko konsumen, faktor sosial, keamanan pangan dan sebagainya,” sambungnya.

Sementara Vice Chairperson Codex Alimentarius Commision (CAC) Purwiyatno Hariyadi mengungkapkan, standar Codex merupakan standar internasional di bidang pangan yang didalamnya termasuk komoditas ikan dan produk perikanan. Seluruh negara yang menjadi anggota Codex Alimentarius Commision (CAC) merancang dan menyetujui suatu standar internasional Codex. Proses ini dilakukan atas dasar kesepakatan bersama sehingga standar yang dihasilkan menjadi konsensus dunia.

Codex sendiri adalah bentukan FAO dan WHO pada tahun 1963 untuk mengembangkan standar, pedoman, dan kode praktik untuk melindungi konsumen dan memastikan terjadinya praktik adil dalam perdagangan pangan,” kata Purwiyatno saat menjadi salah satu pembicara webinar bertajuk Harmonisasi Standar Codex di Unit Pengolahan Ikan (UPI) (17/11).

Dikatakannya, secara legalitas standar Codex tidak wajib namun setiap negara bisa memutuskan bagaimana menerapkannya. Purwiyatno menambahkan, berdasarkan Perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS), Standar-standar Codex menjadi acuan/referensi untuk harmonisasi internasional yang berfungsi sebagai teks dasar untuk memandu penyelesaian sengketa perdagangan.

“Sedangkan bagi anggota WTO, mendasarkan kebijakan keamanan pangan nasional mereka pada standar Codex,” terang Purwiyatno.

Adapun Standar Codex yang berhubungan dengan produk perikanan dilakukan oleh Codex Committee on Fish and Fishery Products (CCFFP). Ruang lingkup CCFFP diantaranya ikan segar, beku atau olahan ikan lainnya, termasuk krustasea dan moluska telah menghasilkan 24 standar, tiga pedoman, dan satu kode praktik. Isinya adalah rujukan utama dari penanganan, produksi, penyimpanan, distribusi, ekspor, impor dan penjualan ikan dan produk perikanan. Ini merupakan dasar yang perlu diimplementasikan dengan baik.

“Sehingga kita bisa memastikan produk yang dihasilkan aman dan bermutu sesuai dengan persyaratan yang berlaku,” urainya.

Kepala Badan Standar Nasional (BSN) Kukuh S. Achmad memastikan kebijakan pengembangan SNI merujuk pada Pasal 13 UU Nomor 20 Tahun 2014. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jika terdapat standar internasional maka SNi dapat diselaraskan dengan standar internasional melalui adopsi dan modifikasi. Sedangkan untuk kepentingan nasional, SNI dapat dirumuskan tidak selaras dengan standar internasional.

Hingga saat ini, terdapat 680 SNI sektor perikanan yang terdiri dari 169 SNI Produk Perikanan, 57 SNI Produk Perikanan Nonpangan, 332 SNI Perikanan Budidaya dan 122 SNI Perikanan Tangkap.

“Peran SNI, SNI adalah acuan, dia sifatnya sukarela. Bisa dijadikan acuan bagi industri, masyarakat, pengawasan produk masuk dan beredar di pasar,” terang Kukuh.

Dukungan terhadap UPI juga ditegaskan Direktur Standardisasi Pangan Olahan, BPOM, Sutanti Siti Namtini. Menurutnya, BPOM berkomitmen penuh terhadap Sistem Jaminan Keamanan dan Mutu Pangan, termasuk sektor perikanan di antaranya melalui percepatan pelayanan publik registrasi pangan olahan, pemberdayaan dan pendampingan UMKM Pangan, dukungan gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia dan dukungan hilirisasi hasil riset di bidang pangan olahan.

“Dengan sinergitas, kita optimis produk yang kita hasilkan akan berkualitas,” tandas Sutanti. (mar)