Kosmik

Oleh: Mohammad Sabri

“MANUSIA primordial” (fitrah) disepadankan The Pontifex—secara harfiah bermakna “jembatan” antara bumi-langit—adalah sebilah anggitan yang mengalir deras dalam jantung “kearifan abadi” (philosophia perennis). Manusia primordial, sebab itu, hidup dalam dunia “asal” dan dunia “pusat” sekaligus. Sepanjang hayatnya, manusia primordial, hidup dalam siklis dan terus menerus berusaha meraih pusat spiritual dirinya. Di sini, manusia pontifex hidup dalam sebuah kesadaran agung yang menjadikan dirinya sebagai titik berangkat pendakian ke Yang Tak Tepermanai (Infinitum).

Salah satu krisis paling serius yang mengerkah manusia modern, mereka telah kehilangan makna dan tujuan hidup (meaning and purpose of life). “Manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang dinyalakannya,” tulis seorang arif, “Karena ia telah kehilangan dirinya yang autentik.” Meski demikian, tidak dengan sendirinya berarti jika manusia modern telah kehilangan horizon spiritual, tapi lebih karena manusia modern dalam perspektif perennis, “telah terlontar ke pinggir lingkaran-luar eksistensinya.” Manusia modern melihat segala sesuatu “hanya” dari sudut pandang “pinggiran” eksistensinya itu dan bukannya berpijak pada “pusat” spiritualitas dirinya.

Dalam perspektif modernitas, manusia cenderung diposisikan sebagai “ciptaan dunia-bumi ini” (a creatur of this world). Karena itu, ia betah tinggal di bumi dengan pandangan artifisial yang dibangunnya sendiri, yang memesona, tapi berujung pada: tertampiknya Tuhan dan realitas spiritual dalam ruas kehidupan mereka. Agaknya logico-positivism—sebagai tonggak peradaban modern—telah berhasil meneguhkan manusia sekadar manusia-bumi, dan mengoyak langit suci: Awal dan akhir peradaban adalah materi. Sebab itu, usah lagi mempercakapkan dunia makna, ontolog, metafisika, mysterium dan transendental. Spiritualitas—dalam pendakuan mereka—adalah dunia palsu dan wadah pelarian manusia-manusia kalah.

Namun, pada akhirnya manusia modern dilimbur kecemasan dalam terungku kehidupan bendawi. Di sini, ada sejenis kebutuhan lain yang mengemuka: mereka rindu perihal “yang sakral” (the sacred) dan “yang abadi”, meski dimanifestasikan dalam 1001 cara untuk memuaskan kegalauannya itu; melalui novel-novel psikologis, X-Files, hingga praktik pseudo mistik. Fenomena itu, oleh sementara pihak dibilangkan “New Age” yang mencirikan pesatnya perhatian manusia modern terhadap dunia keruhanian.

Sejatinya, keterpanggilan manusia untuk selalu menyucikan ruhaninya pada urutannya melahirkan naluri kuat untuk “kembali ke Asal” (the Origin). Dalam pendakuan Seyyed Hossein Nasr (1992), keterpanggilan untuk selalu “kembali ke Asal” tidak hanya dialami manusia tetapi seluruh kosmik. Naluri kosmik untuk “kembali ke Asal” menuju Tuhannya menyebabkan adanya gerak siklis laksana tawaf dalam tradisi haji. Seluruh kosmik bergerak tawaf: atom bertawaf pada sumbunya, bulan mengelilingi bumi, bumi mengitari matahari, matahari beredar mengitari galaksi, galaksi mengitari sehimpunan galaksi yang lebih besar, dan seterusnya. Gerak siklis “memusat-melingkar” yang berbenturan “arah jarum jam” itu pada urutannya berakhir pada titik pusat “Kesadaran Eksistensi”, “alfa-omega” segenap realitas, yang dalam teologi disebut sebagai Tuhan. Ini pula makna esensial kalam-Nya: Innâ Lillâhi wa innâ ilaihi râji’un: “Sungguh kita semua dari Allah, dan hanya kepada-Nya kita kembali”.

E.F. Schumacher (1990), menyebut pengandaian di atas sebagai “the hierarchy of existence”: mulai dari Tuhan pada tingkat tertinggi dan tak tepermanai (Infinitum) hingga manusia dan makhluk/benda-benda “di bawah” manusia. Atau sebaliknya: dari benda-benda mati (terrestrial) di tingkat paling rendah hingga Tuhan pada tingkat tertinggi.

Dalam perspektif philosophia perennis, pada urutannya mekar kesadaran perihal “persaudaraan kosmik” antara alam (macrocosmic) dan manusia (microcosmic) yang demikian kuat. Dengan kata lain, ada “senyawa-kimiawi” yang sangat erat antara hirarki-kosmik dan hirarki-manusia: alam benda (terrestrial) “bersenyawa” dengan tubuh (body); alam-cakrawala (intermediate) dengan pikiran (mind); alam-langit (celestial) dengan jiwa (soul), dan “realitas-tak-tepermanai” (infinitum) bersenyawa dengan ruh (spirit) manusia.

Setiap senyawa-kimiawi hirarki ontologis tersebut mengandaikan kualitas manusia. Manusia “bumi” misalnya, adalah kualitas manusia “body” yang orientasi dan tujuan hidupnya berujung pada pemenuhan sifat-sifat bumi: materil, sesaat, artifisial, dan dangkal seperti; makan, minum, hubungan sex, haus kuasa, dan seterusnya. Manusia “cakrawala” adalah ego yang dengan potensi pikirnya mampu merespons, merumuskan makna hidup dan mendisain masa depannya. Manusia “langit” adalah ego yang jiwanya telah diselimuti cahaya. Mereka inilah yang dalam tradisi Islam dibilangkan sebagai ego “tercerahkan” (al-nafs al- muthmainnah), yang diberi potensi oleh Allah menembus “masa depan” melalui mata-langitnya yang cerah.

Sementara manusia “ruh” adalah ego-autentik yang telah diliputi pendar-cahaya ruhani, spirit yang identik dengan Kenyataan-Ilahi: faidzâ sawwaituhu wa nafakhtu fî hi min rûhî. Manusia-ruh, sebab itu, adalah ego “tak tepermanai”, tidak meruang-tidak mewaktu. Ego yang telah mengalami “ketercelupan ontologis” dalam Kemahatakterbasan-Nya. Kualitas  manusia-ruh adalah ego-autentik yang tidak lagi terpenjara oleh syahwat bendawi, pesona pemikiran rasional, dan kepingan jiwa yang galau. Dengan kata lain, manusia-ruh adalah ego yang berjalan “dengan” dan “di dalam” Allah: setiap prilaku, pikir, tutur, dan nafas hidupnya memantulkan kebenaran, pencerahan, kedamaian, dan keselamatan, karena seluruh eksistensinya tak lain dari “pantulan” Eksistensi Allah.

Manusia-ruh, sebab itu, adalah “citra Ilahi” (imago Dei) di bumi. Dialah manusia pontifex, fithri, dan ego autentik itu—yang setia menautkan semesta kesadarannya di ketentraman “langit” infinitum—sembari mengusung komitmen kokoh: bahwa ia musti “kembali” karena di ujung kakinya, “di bumi” terrestrial, menanti sejumput tugas sejarah yang musti ditunaikan. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).