Kastara.id, Jakarta – Pemerintah saat ini masih mencari keseimbangan antara kebijakan Otonomi Daerah dengan Kebijakan Pusat. Adanya peralihan kewenangan pengelolaan sejumlah urusan pemerintah yang oleh UU. No. 32 Tahun 2004 ditentukan sebagai kewenangan pemerintah kabupaten/kota, sekarang dipindahkan ke provinsi/pusat oleh UU. No. 23 Tahun 2014 seperti bidang pendidikan, sumber daya alam dari kabupaten kota beralih ke provinsi/pusat.

Menurut Ketua Komite I DPD RI Akhmad Muqowam, implementasi UU. No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah tumpang tindih dengan kebijakan pemerintah pusat. Sehingga stagnan dalam menjalankan UU tersebut di daerah. Hal ini tertuang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum antara Komite I DPD RI dengan Mantan Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan dan pakar hukum tata negara Ni’matul Huda mengenai implementasi Undang-Undang Pemda, di Senayan Jakarta, Senin (29/8).

“Melihat kebijakan Undang-Undang 23 ini sepertinya terjadi resentralisasi kebijakan. Kebijakan yang seharusnya menjadi kewenangan daerah seperti kembali ke pusat, padahal sekarang berlaku otonomi daerah, dan daerah menjadi takut bergerak dan akhirnya stagnan,” ujar Akhmad Muqowam.

Menurut Djohermansyah, seharusnya kebijakan otonomi daerah itu seharusnya meringankan beban kerja pemerintah pusat, dan tata kelola pemerintahan menjadi lebih baik. “Melalui Undang-Undang No.23 ini Pemerintah mencari keseimbangan agar tata kelola menjadi lebih baik,” katanya.

Sedangkan pendapat berbeda disampaikan Senator Jawa Barat Eni Kahirani. Menurutnya, semangat otonomi saat ini tidak jelas arahnya. Daerah juga punya stategi untuk mengembangkan kemampuan wilayahnya dalam berbagai bidang. “Dalam urusan pendidikan ekonomi dan kesehatan misalnya, daerah pasti punya perencanaan, tetapi begitu beralih ke provinsi/pusat semangatnya daerah menjadi menurun,” ujarnya.

Senator asal Kalteng Muhammad Nawardi menyatakan hal yang sama bahwa produk undang-undang yang terkesan politis membuat daerah harus menerima konsekwensi dalam pelaksanaannya, sehingga berakibat kepada tata kelola pemerintahan dan menyulitkan dalam menjalankan kebijakan.

“Masih banyak peraturan yang menyulitkan, contohnya tata ruang. Daerah mempunyai ruang tetapi ketika akan memanfaatkannya akan terbentur oleh peraturan di atasnya yaitu dimana lahan itu berdiri apakah di hutan, di tambang atau di kebun karena peraturannya dan kementrian yang mengelola berbeda-beda pastilah tumpang tindih,” kata Muhamad Nawardi.

Melalui RDPU ini Komite I DPD RI ingin mencari formulasi dalam melakukan tugas dan fungsi pengawasan terhadap implementasi Undang-Undang No.23 tahun 2014, agar ke depan fungsi dan tata kelola pemerintah daerah menjadi lebih baik. (rya)