Kastara.ID, Jakarta – Asap putih tipis dengan aroma khas dari batang dupa yang terbakar, menyebar di ruang Klenteng Di Cang Yuan atau Vihara Tri Ratna. Suasana hening menyelimuti tempat ibadah yang berlokasi di Jalan Lautze, Nomor: 64, RT 04/06, Kelurahan Kartini, Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Tak ada aktivitas berlebih menjelang perayaan Tahun Baru Imlek yang jatuh pada 1 Februari nanti. Hanya beberapa jamaat tampak khidmat berdoa di depan meja altar di ruangan tengah yang terbuat dari kayu berukir hiasan tumbuh-tumbuhan dan naga dalam posisi saling berhadapan dengan bola api di tengahnya.

Avon, salah seorang pengurus di vihara ini mengatakan, pihaknya memang tidak menyelenggarakan sembahyang pada Tahun Baru Imlek nanti. Malah, katanya, aktivitas vihara ini akan tutup sementara, mulai 31 Januari hingga 1 Februari nanti.

“Kita tidak menyelenggarakan ibadah untuk umat saat Imlek nanti, karena masih pandemi,” tuturnya (29/1).

Menurut Avon, sebelum masa pandemi vihara ini memang selalu ramai dikunjungi umat untuk bersembahyang di malam Imlek atau perayaan keagamaan lainnya seperti Cap Go Meh dan Hari Suci Waisak.

Vihara yang dibangun pada 1789 ini, jelas Avon, memang tidak dikhususkan bagi para penganut Budha saja. Di vihara ini selain beberapa patung Budha dan patung dewa pengikut setia sang Budha, juga terdapat patung dewa-dewa yang biasa dipuja oleh masyarakat Tionghoa dan sebuah ruangan khusus untuk mengirim doa pada arwah bagi para penganut Konghucu.

“Sebelum pandemi COVID, vihara ini bisa dipenuhi jamaah lebih dari 500 orang saat hari raya Imlek,” ucap Avon.

Avon menjelaskan, bangunan vihara dengan luas sekitar 1100 meter persegi ini sudah ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya Bersejarah oleh Pemprov DKI Jakarta sejak 1972.

“Bangunan ini sudah berusia lebih dari 250 tahun. Tidak banyak berubah pada bangunan ini, hanya ada penambahan sedikit seperti penambahan atap yang rusak,” katanya.

Dia mengatakan, seluruh bagian bangunan vihara ini masih asli seperti dahulu. Pada bagian depan pintu gerbang vihara ada hiasan tiga buah stupa (di bagian atas) dan patung naga di pintu masuk.

Di halaman sebelah kiri, ada sebuah tiang batu setinggi sekitar 2,40 meter berwarna putih, berbentuk segi enam dan berhias aksara Cina.

“Di halaman belakang juga ada prasasti beraksara Cina tahun 1761 yang dibuat untuk memperingati dibukanya sebuah pekuburan baru yang dahulu pernah ada di sini,’ terangnya.

Sementara pada ruang utama, tepatnya di depan pintu masuk, terdapat altar Dewi Kwan Im sebagai sarana ibadah dan meminta keselamatan dan kesehatan. Di meja altar ini juga terdapat tempat pembakaran dupa, ketokan kayu dan mangkuk biksu yang hanya dibunyikan pada waktu sembahyang.

Di belakang patung Kwan Im terdapat tiga patung Buddha duduk di atas Padmasana. Di sebelah kanan altar terdapat genderang dan lonceng kecil.

Altar utama di ruang utama ini, lanjut Avon, adalah altar Dewa Ksitigarbha Bodhisattva yang biasa banyak dipuja umat untuk berdoa dan memohon. Dewa Ksitigarbha sebagai dewa pelindung arwah-arwah yang sedang menderita. Di sebelah kiri patung Ksitigarbha Bodhisattva terdapat patung Dewa O’Nie Tho Fut sebagai dewa menyembuhkan penyakit.

Kemudian, altar utama diapit oleh rak tempat lilin. Di sebelah kanan rak lilin terdapat altar Dewa Fu Fat Pho Sat atau tentara langit yang bertugas sebagai dewa penjaga. Pada dinding kiri dan kanan ruang utama terdapat lemari kaca yang berisi patung dewa-dewa dari 18 Arhat.

Pada ruangan sebelah kanan, terdapat altar Dewa Chai Sen Ye, altar Dewa Sam Kwan Tai Tie, dan altar Dewa Thay Sui Seng Kun untuk meminta rezeki. Di bagian bawah altar-altar tersebut terdapat altar Dewa Phai Hu Ciang Cwin sebagai dewa pelindung dengan patung berbentuk macan putih.

“Sedangkan di ruang sebelah kiri terdapat altar pemujaan Dewi Kwan Im Pho Sat sebagai dewa pengasih dan penyayang,” tutup Avon. (hop)