Thobib Al Asyhar

Oleh: Thobib Al-Asyhar

SELAMAT datang era New Normal. Era di mana setiap orang dituntut berpikir dan bertindak efektif. Kenapa? Karena virus Corona masih menjadi ancaman dalam kehidupan nyata. Keluar rumah seperlunya. Belanja barang yang pokok-pokok. Ketemu orang jika dianggap penting. Makan sedikit tapi bergizi. Juga bekerja harus cepat dan efisien.

Banyak ahli berkata, era pandemi akan membentuk budaya baru. Proses dehumanisasi makin cepat. Robotisasi makin nyata. Digitalisasi makin tak terelakkan. Selain karena kemajuan teknologi, antar manusia juga saling “curiga”. Jangankan orang lain yang tidak kenal. Dengan saudara sendiri saja tidak mau “physical touch” (sentuhan fisik). Ketemu berjarak mengharuskan segera cuci tangan dan ganti baju. Intinya, masing-masing individu fokus pada dirinya sendiri.

Bagaimana dengan manajemen birokrasi di pemerintahan? Apakah kita masih berfikir Rapat Kerja atau Koordinasi di hotel mewah dengan mendatangkan peserta banyak? Apakah kita masih ingin workshop, seminar, konferensi, bimtek dan semacamnya sambil meniknati hidangan enak di tempat ber-AC? Apakah masih ingin hari dinas luar (DL) lebih banyak daripada berada di kantor selama setahun? Apakah kita masih ingin Monev ke berbagai daerah sambil menjalani hobby traveling?

Stop! Jika masih berpikir seperti itu, lupakan era New Normal. Buka masker sekarang. Perbanyak DL atau ke kantor dengan perbanyak kumpul-kumpul seperti biasa. Naik kendaraan umum (bus, KRL, dan angkot) berdesakan bak ikan asin. Jika maunya seperti itu, pilihannya hanya satu: mati bersama virus atau mati lapuk karena dilindas perubahan.

Tentu semua kita ingin pandemi Covid-19 “the end”. Minimal terkendali, untuk kemudian kembali seperti sedia kala. Sebagai makhluk dinamis, tidak ada pilihan lain kecuali menghadapi “challenging” yang belum ada vaksinnya ini. Tapi yang harus diingat, mari kita hadapi dengan cara baru. Gunakan strategi baru. Berpikir, bersikap, dan bertindak baru. Ya, Corona menjadikan kita harus melakukan hal-hal baru.

Arah Tata Kelola Birokrasi
Apa hubungan birokrasi dengan New Normal? Yups, New Normal sangat terkait dengan birokrasi. Bisa disebut, hidup nyaris tidak bisa dilepaskan dari birokrasi. Sehingga wajar, sebagian orang bosan mendengar istilah itu. Selain karena terdengar elitis, isu penataan birokrasi hingga kini belum tuntas. Malah ada kecenderungan pelambatan. Apalagi di era pandemik seperti ini. Semua serba terbatas. Serba minimalis.

Pertanyaannya, akankah era pandemi ini memberi dampak baik buat birokrasi? Ataukah sebaliknya, pandemi membuat birokrasi semakin layu. Dan, merespons hal ini, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada 29 Mei telah menerbitkan Surat Edaran No 58 tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru.

Idealnya, masa New Normal ini menjadi momentum tepat “membumikan” perubahan dalam lingkup birokrasi. Unsur birokrasilah yang harus jadi pelopor kebaruan dalam situasi seperti ini.

Kenapa menggunakan istilah “membumikan”? Karena perubahan selama ini masih di atas kertas. Buktinya? Saat semua unit birokrasi dituntut melaksanakan Reformasi Birokrasi (RB), yang dikejar lebih cenderung “evidences” formal. Bukti-bukti harus ditunjukkan di atas kertas. Lalu semua orang sibuk bikin ini dan buat itu untuk kebutuhan formil. Mana SK-nya. Mana surat tugasnya. Mana regulasinya, dan bla bla. Orang lalu bilang, RB kita masih sebatas formalitas. Just rutinity for formality targets.

Jika ingin lebih serius, RB di era New Normal harus lebih bermakna. Lebih nyata wajudnya. Saat semua hal dituntut berjalan lebih efektif, efisien, dan terukur (measurable), maka saat ini waktunya bertindak konkret. Hentikan berwacana terlalu over. Kurangi speak-speak dalam forum-forum formal tidak penting di hotel-hotel mewah. Apa bisa? Kun fayakun, pasti bisa!

Saatnya tidak mencari alasan untuk menunda. Apalagi mengelak karena ini dan itu. Lalu, aspek apa saja yang harus dilakukan dalam mengubah tata kelola birokrasi di era New Normal ini? Selain keharusan menghadapi disrupsi akibat kemajuan teknologi, era New Normal menuntut semua tata kelola birokrasi lebih praktis dan cepat. Hasilnya lebih konkrit dan nyata manfaatnya bagi masyarakat.

Setidaknya ada lima klaster birokrasi yang harus direform saat ini juga. Pertama, klaster “pertemuan” (meeting) dengan segala penamaannya harus direduksi dan diperketat. Rapat kerja, sosialisasi, koordinasi, seminar, workshop, bimtek, dan semisalnya harus diganti dengan daring (online). Klaster pertemuan ini konon yang paling banyak menghabiskan alokasi anggaran negara dengan hasil yang “dipertanyakan”.

Para “decision maker” harus tegas. Program dan kegiatan klaster ini tidak boleh dijadikan alasan untuk serapan anggaran. Classic reason! Percayalah masih banyak ruang kosong publik yang masih membutuhkan alokasi budget, seperti bidang pendidikan, layanan kesehatan, bimbingan masyarakat, penyediaan sarana pokok, pertumbuhan ekonomi kreatif, dan lain-lain.

Kedua, klaster “perjalanan” dinas dengan berbagai dalihnya. Banyak nama dalam klaster ini yang dijadikan alasan agar pegawai bisa “jalan-jalan” ke seluruh pelosok nusantara atau bahkan dunia. Ini sudah menjadi perbincangan publik sejak lama. Apalagi jelang akhir-akhir tahun, hampir semua penerbangan diisi oleh para PNS. Bahkan ada PNS yang jarang ke kantor karena sepanjang tahun DL tidak habis-habis. Bahkan anggaran DL nya jauh lebih banyak daripada anggaran substantifnya.

Biaya perjalanan (DL) konon jumlahnya sangat besar dan output yang tidak jelas. Belum lagi DL membuat repot bagi unit yang dikunjungi karena harus menyediakan ini dan itu. Apalagi menggunakan klaim monitoring dan evaluasi yang sesungguhnya bisa digantikan dengan media teknologi yang serba canggih dan cepat. Hemat, efisien, dan mudah diukur tingkat keberhasilannya.

Ketiga, klaster pengadaan barang dan jasa. Dalam beberapa hal, pengadaan barang dan jasa sangatlah penting sebagai kelengkapan sarana atau infra-struktur utama. Tapi jika pengadaannya bisa digantikan oleh sarana teknologi, maka saat ini waktunya dihentikan.

Satu contoh konkretnya adalah pengadaan buku-buku panduan, buku pelajaran, modul, dan lain-lain. Semua itu sudah tidak zamannya lagi, karena bisa digantikan oleh edisi digital. Bukankah sekarang zamannya e-learning atau pembelajaran jarak jauh? Meskipun dalam beberapa hal untuk alasan dokumentasi bisa diberikan toleransi dengan percetakan yang sangat terbatas.

Keempat, klaster layanan publik. Hampir semua sektor layanan publik menuntut serba cepat, mudah, murah, dan transparan. Bukan eranya lagi layanan langsung yang membuka ruang terjadinya gratifikasi, atau pungli. Semua orang menyadari, betapa layanan publik dalam ranah birokrasi kita masih belum bagus, mbulet atau rumit.

Memang ada upaya-upaya yang sudah dilakukan. Penilaian-penilaian RB telah dimulai dengan aspek layanan digital. Hanya saja perlu dobrakan yang lebih keras, agar seluruh layanan publik memanfaatkan teknologi. Apalagi dalam situasi New Normal ini yang mengharuskan agar memperkecil pertemuan langsung antara petugas pelayanan dengan pemohon.

Kelima, klaster pengawasan. Konon, ranah pengawasan internal maupun eksternal mayoritas anggarannya adalah perjalanan dinas. Jika ini tetap dilakukan, paradigma lama tidak akan berubah. Dibutuhkan effort bersama agar pengawasan digital sudah dilakukan untuk semua lini program yang dilaksanakan oleh birokrasi.

Apabila semua obyek pengawasan dilakukan dengan teknologi, maka pola pengawasannya pun juga harus dengan teknologi. Kerangka umumnya harus integral, holistik. Perumusan anggaran berbasis e-budgeting (perencanaan), e-acounting (pelaksanaan), e-evaluating (pelaporan), dan e-auditing (pengawasan) harus terintegrasi satu dengan yang lain.

Dari semua klaster pengelolaan birokrasi tersebut sudah saatnya menyesuaikan dengan era baru. Era New Normal memaksa kita berpikir praktis namun tetap memberi manfaat nyata. Mungkin masih ada klaster-klaster lain yang juga perlu mendapat sentuhan teknologi. Intinya, era New Normal menuntut pelaksana birokrasi merubah total cara berpikir dan bertindak agar semuanya berjalan efektif dan efisien.

Satu hal lagi yang juga menjadi paradigma penting bahwa arah New Normal yang digagas pemerintah adalah menuju masyarakat produktif aman Covid-19. Tentu setiap level pimpinan birokrasi harus memahami betul dengan mengutamakan program-program recovery dan penjagaan ekosistem publik menuju masyarakat yang sehat, maju, dan berkarakter. Wallahu a’lam. (*)

* Kabag Kerja sama Luar Negeri, Biro Hukum dan KLN, Sekretariat Jenderal, Kementerian Agama