Kastara.id. Jakarta – Filosofi Program jaminan hari tua (JHT) adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, tidak ingin bekerja kembali, mengalami cacat total tetap, sehingga tidak mampu bekerja kembali atau meninggal dunia.

Program investasi ini dikelola oleh pemerintah untuk melindungi pekerja atau buruh ketika memasuki masa tidak produktif atau disebut pensiun. Mekanisme pencairan jaminan hari tua untuk peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan bakal diubah kembali dengan mensyaratkan minimal kepesertaan lima tahun.

Keputusan tersebut diambil dalam sidang pleno ke-2 LKS Tripartit Nasional di Ruang Tripartit Kementerian Ketenagakerjaan Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan (31/10). Kondisi program JHT saat ini, dengan diterbitkannya Permenaker Nomor 19 tahun 2015 pencairan JHT dapat dilakukan apabila pekerja berhenti bekerja dengan masa tunggu satu bulan dengan tidak mensyaratkan masa kepesertaan setiap pekerja yang berhenti bekerja dengan masa tunggu satu bulan dapat mencairkan JHT.

Meningkatnya jumlah klaim JHT secara signifikan karena dapat dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu satu bulan terhitung sejak peserta berhenti bekerja yang meliputi: mengundurkan diri, PHK, dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Pembayaran JHT dalam jangka pendek sangat merugikan pekerja karena tidak mengedukasi pekerja untuk mempersiapkan hari tua yang layak. Selain itu, kehilangan kesempatan mendapatkan manfaat optimal akibat kepesertaan yang diulang dari awal.

Juga kehilangan kesempatan mendapatkan hasil pengembangan yang memadai. Bagi peserta aktif loyal kehilangan kesempatan untk mendapatkan hasil pengembangan yang optimal. Kehilangan kesempatan memperoleh perlindungan JKK dan JK pada saat transisi (mulai dari pembayaran JHT sampai mendaftarkan kembali).

“JHT menjadi sumber dana kebutuhan jangka pendek dan lebih bersifat konsumtif, serta terdapat indikasi moral hazard. Dapat menimbulkan beban pemerintah di masa mendatang (meningkatnya jumlah peserta penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan) karena pekerja cenderung menghabiskan JHT dan tidak memiliki jaminan hari tua,” kata Menaker Hanif.

Berdasarkan aturan yang berlaku saat ini pengambilan JHT dapat dilakukan sebulan setelah peserta tidak bekerja atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Mekanisme tersebut tertuang dalam PP Nomor 60/2015 tentang perubahan atas PP nomor 46 tahun 2015 tentang Penyelanggaraan Program Jaminan Hari Tua, serta Permenaker nomor 19 tahun 2015 tentang Tata Cara Pengambilan JHT.

Hanif menyatakan, kedua peraturan tersebut akan direvisi secepatnya. Forum merekomendasikan perubahan skema pencairan JHT tersebut mulai dilakukan pada 1 Januari 2017 mendatang.

“Intinya semua sudah bersepakat untuk mengembalikan skema JHT menjadi lima tahun satu bulan, sama seperti pada masa Jamsostek dengan UU nomor 3/1992. Konsekuensinya akan dilakukan perubahan terhadap PP maupun Permenaker yang terkait dengan itu,” ujar Hanif.

Menaker Hanif menambahkan, keputusan tersebut diambil lantaran banyaknya masukan dari penyelenggara BPJS maupun dari kalangan pekerja sendiri. Sebanyak 70 persen dari klaim JHT di BPJS dilakukan dengan alasan pengunduran diri. Selain itu ada juga perusahaan dan pekerja yang bekerjasama untuk mencairkan JHT dengan cara-cara yang tidak benar.

Secara terpisah, Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi mengatakan pihaknya masih menolak rencana pengembalian skema pencairan JHT menjadi minimal lima tahun. “Ini akan menimbulkan resistensi yang lebih kencang dari teman-teman pekerja, terutama mereka yang mau mengajukan klaim JHT,” katanya.

Menurut Ristadi, alih-alih memperketat pencairan JHT, seharusnya BPJS lebih giat merekrut peserta demi menjaga ketahanan modalnya. “Peserta BPJS Ketenagakerjaan masih sekitar 20 juta, sedangkan jumlah pekerja lebih dari 125 juta orang sehingga masih banyak peluang untuk menambah peserta,” ujar Ristadi.

Sementara itu, Wakil Ketua Apindo Bidang Ketenagakerjaan Harjanto menyatakan kalangan pengusaha mendukung keputusan tersebut. “Kami tidak ada masalah, justru malah kami mendukung kembali ke peraturan lama, yakni UU tentang SJSN. Karena sebetulnya JHT itu bisa diambil kalau sudah tua,” kata Harjanto.

Sidang Pleno ke-2 LKS Tripartit Nasional dihadiri 11 orang dari unsur pemerintah, sembilan unsur dari SP/SB dan delapan orang dari unsur pengusaha.

Hanif menjelaskan, terkait Review UU Nomor 21 tahun 2000 tentang pembentukan SP/SB unsur pengusaha ingin SP/SB mementingkan kualitas bukan kuantitas. Sementara sebaliknya, pihak SP/SB mengeluhkan adanya resistensi dari sejumlah sengusaha terhadap pembentukan SP/SB.

Terkait aturan JHT unsur pemerintah, SP/SB dan pengusaha sepakat untuk mengubah aturan pengambilan JHT jadi lima tahun satu bulan, karena itu sudah sangat adil dari semua pihak. “Dari sidang ini, kita sepakat dan menyimpulkan aturan JHT jadi lima tahun satu bulan dan perlu pengaturan ideal tentang SP/SB,” ujar Hanif.

Keputusan seperti itu, kata Hanif, diambil dalam rapat tripartit yang terdiri perwakilan pemerintah, pengusaha dan pekerja. Adapun yang menandatangani keputusan tersebut adalah Menaker Hanif Dhakiri sebagai perwakilan pemerintah, anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Harijanto dan perwakilan Serikat Pekerja (SP) dan Serikat Buruh (SB), Sumirah.

“Itu hasil keputusan dalam rapat tadi. Jadi, kami secepatnya merevisi Peraturan Pemerintah (PP) 60/2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 46 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT) yang isinya pengambilan JHT dapat dilakukan sebulan setelah tidak bekerja atau sebulan setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK),” kata Hanif.

Menurutnya, keputusan seperti itu diambil karena banyaknya pengaduan dari pengusaha dan pekerja sendiri. Salah satunya adalah ada pekerja yang ingin mengambil JHT, bekerja sama dengan pihak perusahaan, membuat berita acara bahwa sang pekerja yang bersangkutan berhenti bekerja. Setelah dia sudah mengambil JHT di BPJS Ketenagakerjaan baru dia bisa dipekerjakan kembali. “Nah, ini kan tidak benar,” ujar Hanif. (nad)