Oleh: Djasarmen Purba

Merebaknya pemberitaan palsu (hoax) melalui jejaring media sosial dinilai sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, bahkan mulai mengancam keutuhan bangsa, menjadi salah satu isu penting dalam peringatan Hari Pers Nasional tahun ini.

Menurut kamus Merriem Webster, hoax adalah (1) sebuah perbuatan yang bertujuan mengelabui atau membohongi, dan (2) menjadikan sesuatu sebagai kebenaran umum melalui fabrikasi dan kebohongan yang disengaja. Celakanya, berbagai berita hoax belakangan ini disajikan lebih mengedepankan hasutan, kebencian, dan kebohongan publik tanpa merujuk pada data dan realitas sebenarnya.

Sayangnya, tidak sedikit media daring yang terjebak berita hoax, bahkan ada yang sengaja menebarkan hoax sebagai tujuan politik. Dewan Pers mencatat saat ini ada 43.300 media daring di Indonesia. Pada tahun 2014 hanya 254 media saja yang terverifikasi di Dewan Pers. Pada tahun 2015, menyusut tinggal sekitar 180 media.

Sementara berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informasi, terdapat sekitar 800 ribu situs yang memproduksi berita hoax di internet. Sedangkan menurut data subdirektorat Cyber Crime Polda Metro Jaya, saat ini sedikitnya terdapat sekitar 300 konten media sosial menyebarkan berita hoax. Konten-konten hoax tersebut kebanyakan diproduksi oleh para buzzer politik yang tidak jarang menggunakan nama-nama menyerupai media yang terverifikasi. 

Media Mainstream

Menurut Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, gejala maraknya berita hoax di Indonesia mulai ramai terjadi saat pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2014 lalu. Saat itu banyak pemimpin media yang membuat partai politik, dan banyak partai politik (parpol) yang membuat media, atau media yang kemudian berpihak pada satu partai politik atau calon presiden/kepala daerah.

Masuknya kepentingan politik di dalam media, membuat berita-berita di media mainstream memiliki berbagai versi tentang satu peristiwa. Misalnya satu media mengatakan ekonomi Indonesia membaik, sementara media lain mengatakan ekonomi Indonesia terpuruk. Meskipun wartawan dari kedua media itu melakukan peliputan peristiwa dan fakta yang serupa.

Pemberitaan yang berbeda-beda, dan cenderung mengikuti selera dan pesanan pemiliknya, membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media-media mainstream mengalami penurunan. Kondisi ini mendorong masyarakat mencari berita alternatif yang disediakan sumber lain. Namun sayangnya kebanyakan sumber tersebut tidak jelas asal-usulnya.

Turunnya tingkat kepercayaan terhadap media mainstream dan keinginan masyarakat mencari berita-berita alternatif, dimanfaatkan oleh segelintir pihak dengan membuat berita palsu (hoax) untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari berita yang disebarkannya. Kabarnya pendapatan dari para produsen berita hoax tersebut mencapai Rp 25-35 juta per bulan, yang bersumber dari setiap orang yang mengklik berita tersebut. Semakin tinggi klik maka semakin banyak uang yang diperoleh.

Modus para pembuat berita hoax yaitu mengambil berita dari media lain (umumnya media-media mainstream), kemudian mengubah judul dan isinya, dan disebarkan ke grup-grup pertemanan di media sosial (Facebook, twitter, whatsapp, path, dan lain-lain), lalu menjadi viral di media sosial.

Di luar para pembuat berita hoax yang dimotivasi mendapatkan keuntungan dari klik pembaca beritanya, terdapat produsen lain berita hoax yakni para buzzer politik. Kelompok ini digunakan oleh para politisi, umumnya saat pemilihan legislatif, atau pilkada dan pilpres. Buzzer adalah orang yang sengaja dibayar untuk menaikan citra seseorang atau menjatuhkan citra orang lain, dengan menyebar berita-berita bohong melalui jejaring media sosial.

Produsen terakhir dari berita hoax adalah media abal-abal, dan kebanyakan media online. Menurunnya kepercayaan terhadap media mainstream mendorong munculnya beragam media abal-abal. Berita-berita dari media jenis ini cukup banyak dibagikan oleh para ‘penghuni’ media sosial.

Dalam upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada media mainstream, serta meredam gelombang berita hoax, pada peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2017, Dewan Pers mulai menerapkan standar kompetensi wartawan dan pemberian barcode kepada media-media yang sudah terverifikasi.

Standar kompetensi diberikan kepada wartawan setelah melewati ujian tentang pemahaman dasar, pemahaman tentang peralatan, penguasaan teknologi, penguasaan jurnalistik, dan etika yang dilakukan oleh peguruan tinggi, organisasi wartawan, media besar, dan lembaga pendidikan. Kebijakan ini dimaksudkan agar wartawan bertindak lebih profesional.

Sementara pemberian barcode —kode QR yang bisa difoto— dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat mengetahui apakah situs berita atau media yang dibacanya telah terverifikasi di Dewan Pers atau belum. Kode QR terkoneksi dengan data di Dewan Pers yang dapat menjelaskan nomor verifikasi, penanggung jawab, alamat redaksi, nomor telepon, nomor faksimil, dan alamat e-mail. Dengan demikian, orang yang dirugikan oleh pemberitaan media yang bersangkutan bisa mengadu langsung ke Dewan Pers.

Literasi

Langkah yang ditempuh Dewan Pers untuk meredam gelombang berita hoax, patut diapresiasi, meskipun kebijakan tersebut baru menyangkut produsen berita (media), belum menyentuh konsumennya (pembaca/masyarakat).

Sebagaimana diketahui, derasnya gelombang hoax disebabkan rendahnya tingkat literasi berita pengguna media sosial di Indonesia. Pengguna media sosial Indonesia merupakan salah satu masyarakat yang berkembang tanpa melewati tahapan literasi. Menurut Fisher (1993), literasi merupakan kegiatan membaca-berpikir-menulis.

Masyarakat yang tingkat literasinya rendah merupakan tempat yang sempurna bagi perkembangan berita-berita hoax. Penelitian The World’s Most Literate Nations (WMLN) tentang tingkat literasi dunia tahun 2016, menempatkan Indonesia pada urutan 60 dari 61 negara yang disurvey. Indonesia berada satu tingkat di atas Botswana, negara kecil di benua Afrika yang berpenduduk 2,1 juta jiwa.

Meskipun tingkat literasinya rendah, namun kecerewetan masyarakat Indonesia di media sosial merupakan yang tertinggi di dunia. Sepanjang tahun 2016 lalu jumlah twit pengguna Twitter Indonesia mencapai 4,1 miliar. Jumlah tersebut akan meningkat tajam jika ditambahkan dengan rilisan status di linimasa Fecebook dan jeprat-jepret Instagram, Path, dan Google+. Menurut menurut Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2016 jumlah netizen Indonesia sebesar 132,7 juta jiwa atau 51,1 persen dari total penduduk Indonesia.

Bahkan pengguna Facebook Indonesia menempati peringkat keempat, setelah India (195,16 juta pengguna), Amerika Serikat (191,3 juta), dan Brazil (90,11 juta). Dari 132,7 juta jiwa nitizen Indonesia, sebagian besar aktivitas-nya berbagi informasi (129,3 juta pelaku), diikuti aktivitas berdagang (125,5 juta pelaku), dan sosialisasi kebijakan pemerintah (119,9 juta pelaku).

Bisa dibayangkan, bila setengah dari informasi yang dibagikan oleh 129,3 juta nitizen Indonesia adalah berbagi berita bohong (hoax). Maka, wajar jika belakangan ini ada kekhawatiran terhadap rusaknya sendi-sendi kehidupan bangsa akibat masifnya penyebaran berita hoax di media sosial.

Berdasarkan realitas di atas, Pemerintah dan Dewan Pers harus mempelopori gerakan literasi yang massif yakni gerakan membaca, menulis yang diimbangi dengan membangun kerangka berpikir kritis dan logis untuk membentengi masyarakat dari terpaan tsunami berita hoax. Gerakan literasi bukan hanya milik pemerintah, namun seluruh komponen masyarakat Indonesia, terutama Pers Nasional, dimana salah satu tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. (*)

*Anggota DPD RI Asal Provinsi Kepri