Moderasi Beragama

Oleh: Ihsan Faisal

PERISTIWA bom bunuh diri di depan gereja Katedral Kota Makassar beberapa hari lalu kembali mengagetkan kita semua sekaligus mencabik-cabik kembali kedamaian yang selama ini kita rangkai. Ibarat menyusun puzzle kesatuan dan kedamaian, ketika ulah bomber yang tidak beradab kembali mengemuka maka seolah kita harus menata dan menyusun kembali puzzle tersebut.

Persoalannya adalah membangun suatu perdamaian dan persatuan itu tidaklah mudah, perlu waktu dan proses yang intens apabila dibandingkan dengan ulah segelintir oknum perusak perdamaian yang hanya sesaat bisa meluluhlantahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Tafsiran Eksklusif
Kejadian seperti di depan Gereja Katedral Makassar dan mungkin beberapa teror bom yang terjadi sebelumnya adalah akibat dari pola pemahaman dan pemikiran yang keliru terhadap teks ajaran agama, di samping tentunya ada faktor-faktor lain yang melingkupinya seperti ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Pemahaman dan penafsiran yang keliru tersebut pada akhirnya diyakini sebagai satu-satunya kebenaran dan lebih fatalnya lagi dijadikan pembenaran (justifikasi) atas tindakan bom bunuh dirinya tersebut.

Mengenai tafsiran atas teks suci dalam sebuah agama, ada hal menarik yang diungkapkan seorang Ulil Abshar Abdalla dalam sebuah tulisannya, “Manusia yang melakukan kegiatan penafsiran banyak jumlahnya, dan karena itu penafsiran akan selalu banyak dan beragam. Teks suci dalam agama tertentu memang satu. Tetapi penafsiran atas teks itu tidaklah mufrad/tunggal, melainkan jamak/banyak. Keragaman tafsir adalah “nasib” yang tak terhindarkan dalam komunitas agama manapun.Yang lebih penting menjadi perhatian semua pihak dalam komunitas agama, teks suci tidak bisa bekerja sendirian. Teks suci harus disertai oleh hal lain, yaitu penafsiran atau interpretasi. Tentu saja, agen yang bisa melakukan kegiatan penafsiran hanyalah manusia, bukan malaikat atau binatang. Tak ada teks suci yang berdiri sendiri, terisolasi, tanpa adanya seorang penafsir yang melakukan kegiatan penafsiran.”

Berdasarkan pemikiran di atas, sangatlah tepat kalau masing-masing kita selaku umat beragama wajib untuk meluruskan kembali tafsiran-tafsiran yang kurang tepat terhadap teks ajaran agama. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memberantas tindakan-tindakan terorisme yang tidak diizinkan oleh agama manapun. Pada prinsipnya kita wajib meyakini kebenaran agama kita, namun hal tersebut tidak lantas menjadikan penafsiran kita adalah satu-satunya kebenaran mutlak dan menganggap orang lain yang berbeda dengan pemahaman kita adalah salah semua.

Jadilah Agen Moderasi Beragama
Persoalan penting buat kita adalah bagaimana upaya yang mesti kita lakukan dalam rangka mengobati dan mengantisipasi virus terorisme selama ini. Terorisme pada lahirnya memang ada, akan tetapi hal yang sangat menyesakkan kita adalah ketika ajaran terorisme tersebut dikaitkan dengan ajaran agama/kepercayaan tertentu hanya karena melihat sepintas pelaku bom bunuh diri tersebut dengan ajaran agama yang dianutnya.

Mengaitkan oknum pelaku pengeboman dengan ajaran sebuah agama memang berlandaskan pada anggapan ihwal penafsiran si pelaku tersebut terhadap landasan/keterangan yang ada pada masing-masing ajaran agama bersangkutan. Padahal pada hakikatnya tidak ada sebuah ajaran pun yang menyuruh atau melegalkan perbuatan inkonstitusional menurut syariat/hukum apapun juga peradaban manapun.

Memahami agama dan beragama secara moderat adalah sebuah solusi menuju kedamaian dan persatuan antar sesama manusia. Makna moderat dalam terminologi Islam disebut dengan tawasuth/wasathiyah, lawan katanya adalah tatharruf/tasyaddud yang mengandung arti ekstrim. Moderasi beragama bermakna proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil (i’tidal) dan seimbang (tawazun), agar terhindar dari perilaku yang menyimpang yang tidak diajarkan di dalam agama.

Prof. Quraisy Shihab pernah mencontohkan perilaku moderat dalam keseharian manusia di antaranya: sikap dermawan itu adalah kondisi moderat di antara kikir dan boros, sikap berani itu adalah kondisi moderat di antara takut dan nekat.

Pada akhirnya kita harus berpikir dan berusaha menciptakan sebuah generasi penuh kedamaian. Penanaman nilai-nilai perdamaian ini semestinya harus dimulai sejak dini, berawal dari keluarga-lingkungan masyarakat-dan lingkup yang lebih luas dari itu. Pemberian ajaran-ajaran perdamaian lewat bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat pun layak dimulai, dipertahankan, dan ditingkatkan. Penyamaan visi-misi ajaran perdamaian jika sudah dilakukan secara masif tentunya akan memberikan dampak positif yang signifikan. Karena memang mencegah atau mengantisipasi peristiwa pengeboman atau bentuk terorisme lainnya lebih berat dari pada mengobatinya. Wallahu’lam bisshawwab. (*)

* ASN Kemenag