Siklon Tropis Goni

Kastara.ID, Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengemukakan, saat ini Siklon Tropis Goni yang telah berkembang menjadi siklon tropis kuat kategori 5 perlu diwaspadai karena bisa memicu gelombang tinggi perairan, hujan lebat, dan angin kencang di sejumlah daerah di Indonesia, selain dampak langsung berupa bencana banjir, longsor dan angin kencang di Filipina.

Siklon tropis Goni terbentuk di Samudera Pasifik barat dan diprediksikan jalur lintasannya menuju Laut Cina Selatan hingga beberapa hari ke depan setelah melewati Filipina. Siklon tropis Goni merupakan Siklon tropis ke-3 yang berdampak signifikan bagi sejumlah negara-negara Asia Tenggara di sekitar Laut Cina Selatan setelah Siklon tropis Saudel dan Molave.

“Selama Oktober 2020, telah terjadi 7 siklon di Samudera Pasifik Barat dan Laut Cina Selatan (sementara rata rata klimatologis kejadian siklon tropis untuk Oktober adalah 3-4 kejadian), diantaranya: TC Chan-hom (2 Okt), TS Linfa (9 Okt), TS Nangka (11 Okt), Depresi Tropis Ofel (13 Okt), TC Saudel (16 Okt), Depresi Tropis 20 W (19 Okt), TC Molave (23 Okt), TC Goni (27 Okt), TS Atsani (28 Okt),” ungkap Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Herizal, Selasa (3/11).

Lebih lanjut secara gamblang Herizal menjelaskan, TC adalah tropical cyclone (siklon tropis) sedangkan TS adalah tropical storm (badai tropis). Keduanya adalah jenis badai tropis namun berbeda tingkatan, di mana jenis siklon tropis (TC) memiliki luasan pusaran dan kecepatan angin yang lebih kuat daripada jenis tropical storm (TS).

Sejumlah study menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah siklon tropis di Samudera Pasifik Barat dan Laut Cina Selatan dengan kejadian La Nina yang sedang berlangsung. Wang et al (2007, Journal of Marine Systems 68(3)) menemukan bahwa pembentukan siklon (siklogenesis) memiliki peluang yang lebih besar menjelang musim dingin di belahan bumi utara setelah permulaan La Nina, sementara lebih banyak pembentukan siklon pada musim panas selama permulaan El Nino.

Chan (2000, Journal of Climate 13(16)) juga menyebutkan, dalam tahun-tahun La Nina, Laut Cina Selatan cenderung memiliki lebih banyak terjadi Siklon Tropis pada bulan September dan Oktober, sementara wilayah Samudera Pasifik Barat lainnya, aktivitas Siklon Tropis cenderung berkurang di bulan Agustus hingga November. Namun, dalam hal ini masih terdapat perbedaan pandangan di kalangan ilmuwan iklim dimana sebagian mereka menyatakan bahwa kondisi El Nino menyebabkan intensitas siklon tropis di wilayah ini lebih kuat dan memiliki durasi lebih lama (Chun Hsu, 2013; Camargo & Sobel, 2004).

Studi terbaru oleh Liu dan Chan (2017, International Journal of Climatology 38 (3)) mengungkapkan jika terjadi peristiwa La Nina dan keadaan suhu permukaan laut sekitar kolam hangat (warm pool) Indo-Pasifik mengindikasikan persistensi lebih dingin dari wilayah sekitarnya, kemungkinan terjadinya siklon tropis akan melebihi kondisi normalnya.

“Perlu dipahami masyarakat bahwa La Nina bukanlah jenis badai tropis, bukan berupa pusat tekanan rendah dan pusaran angin yang menyebabkan curah hujan dan kecepatan angin ekstrim. La Nina adalah kondisi penyimpangan (anomali) suhu permukaan laut Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang lebih dingin daripada kondisi normalnya, dan diikuti oleh penguatan aliran angin pasat timur,” ujarnya.

La Nina terjadi dalam skala waktu beberapa bulan hingga tahun, dan mempengaruhi cuaca/iklim global berupa kondisi lebih basah/kering, lebih hangat/dingin, dan dinamika cuaca lainnya yang berbeda di tiap wilayah di dunia. Sedangkan badai atau siklon tropis adalah fenomena ekstrim gangguan cuaca dalam skala ratusan kilometer yang memiliki dampak bersifat regional baik dampak langsung maupun tidak langsung, dan berlangsung dalam beberapa hari.

Secara teoritis, badai atau siklon tropis umumnya hanya bisa berkembang dan menguat di wilayah tropis di luar 10 derajat lintang utara atau selatan. Hal ini dikarenakan secara fisis pembentukan siklon dapat terjadi bila memenuhi syarat anomali suhu muka laut yang lebih hangat dibanding wilayah sekitarnya (umumnya >28C), dan adanya potensi pusaran yang besar karena pengaruh gaya korioli. Gaya korioli di wilayah Indonesia umumnya bernilai kecil karena dekat dengan garis ekuator, sehingga relatif lebih kecil peluang terjadinya Siklon Tropis di Indonesia.

Atas penjelasan tersebut, Herizal mengimbau masyarakat untuk tetap tenang terhadap berita-berita yang tidak benar terkait badai tropis yang dianggap sama dengan fenomena La Nina ini, namun diharapkan tetap waspada dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak La Nina yaitu dengan ancaman banjir, banjir bandang, dan longsor akibat curah hujan ekstrim.

Menurut dia, masyarakat bisa berpartisipasi dengan memperbaiki saluran air, meningkatkan kapasitas tampungan air dan memanen hujan, serta memangkas ranting pohon yang berlebih ataupun rapuh, berhati-hati dan memperhatikan tingkat kekuatan papan reklame dan jembatan penyebarangan, dan lebih perhatian terhadap perkembangan cuaca yang dinamis dan cepat.

Masyarakat dihimbau agar terus menerus memperoleh informasi terkini dari BMKG.
Layanan informasi tersebut dapat diakses melalui: https://bmkg.go.id/iklim/prakiraan-musim.bmkg atau langsung dapat menghubungi kantor BMKG terdekat. (ant)