Parliamentary Threshold

Kastara.ID, Jakarta – Politik uang pada pilkada serentak 2020 diperkirakan akan marak. Situasi ekonomi yang sedang resesi memberi peluang ke arah itu akan semakin besar.

Demikian diungkapkan pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta M. Jamiluddin Ritonga kepada Kastara.ID, Kamis (3/12).

Menurut pria yang biasa disapa Jamil ini, diperkirakan politik uang akan marak di kalangan pemilih yang status ekonominya rendah. Kalangan ini di tengah pandemi covid-19 dan resesi ekonomi sangat potensial didekati melalui politik uang.

“Jumlah pemilih dari kalangan bawah ini cukup besar, yang dikhawatirkan akan lebih mudah digoda oleh iming-iming kapital. Kalau ini terjadi, maka pilkada serentak 2020 akan memenangkan paslon yang memiliki kapital besar,” ungkap Jamil.

Kalangan ini, lanjutnya, tidak lagi memilih berdasarkan kelayakan paslon untuk memimpin daerahnya. Paslon yang tak layak tapi berbekal kapital melimpah, diperkirakan akan memenangkan pilkada.

Sementara kalangan menengah atas diperkiranya akan banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya. “Kelompok ini diduga akan lebih mendahulukan kesehatan daripada pergi ke TPS,” prediksi penulis buku Riset Kehumasan ini.

“Karena itu, kelompok menengah atas akan banyak yang golput. Diperkirakan 40-45 persen dari kalangan menengah atas,” tambah Jamil.

Jadi, dalam pilkada serentak 2020 diperkirakan akan memenangkan paslon yang kurang berkualitas. Sebab pilkada kali ini partisipasi ke TPS akan lebih banyak dari pemilih emosional daripada rasional.

“Para pemilih emosional ini, selain mudah tergoda politik uang, juga memilih paslon bukan atas kelayakan. Sementara pemilih rasional selain sulit digoda politik uang, juga akan lebih selektif memilih paslon,” papar pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini.

Bila hal itu terjadi, Jamil melihat pilkada serentak 2020 tidak akan menghasilkan pemimpin yang layak. Ini tentu tidak sesuai dengan cost yang dikeluarkan untuk melaksanakan pilkada.

“Kemajuan demokrasi dengan sendirinya tidak terwujud dengan diadakannya pilkada. Ini tentu merugikan bagi bangsa dan negara Indonesia,” tandas mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999 ini. (jie)