Tri Rismaharini

Kastara.ID, Jakarta – Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga menyoroti pelaksanaan PPKM Darurat yang sudah memasuki hari kedua. Ada empat catatan terkait hal itu seperti disampaikannya kepada Kastara.ID, Ahad (4/7) pagi.

Pertama, mobilitas warga, terutama di pinggir kota, masih tinggi. Kendaraan juga masih banyak berseliweran di jalan raya. “Hal itu tentu masih membuka ruang bagi warga untuk berinteraksi. Kalau interaksi antar warga masih tinggi, maka tujuan meminimalkan penyebaran Covid-19 belum terwujud,” ujar Jamil.

Untuk itu, Koordinator PPKM Darurat Jawa – Bali Luhut Binsar Pandjaitan, harus dapat memastikan mobilisasi dan interaksi warga dapat ditekan seminimal mungkin. Kalau ini tak dapat dilakukan, dikhawatirkan tujuan PPKM Darurat tidak akn terwujud.

Dua, terlalu banyak pesan-pesan menakutkan atau ancaman terkait penanganan Covid-19. Pesan menakutkan dan ancaman ini juga disampaikan Luhut kepada kepala daerah dan penjual obat. Masyarakat juga disuguhi pesan yang menakutkan terkait bahaya varian virus corona.

Menurut Jamil, pesan-pesan ancaman dan menakutkan dalam berbagai penelitian dapat menimbulkan bumerang. Penerima pesan dapat menjadi imun sehingga mengabaikan pesan yang diterimanya.

Selain itu, pesan menakutkan dan ancaman juga tidak sesuai di negara demokrasi. Di negara paham ini seyogyanya pesan persuasif yang diutamakan.

“Jadi, dalam penanganan Covid-19 seyogyanya mengajak masyarakat dengan pesan persuasif. Masyarakat diajak berpartisipasi untuk tinggal di rumah dan disiplin melaksanakan protokol kesehatan dengan pesan rasional dan pesan moral. Pesan-pesan semacam ini dapat menyentuh masyarakat untuk secara sukarela mengikuti ajakan pemerintah mengatasi lonjakan kasus Covid-19,” papar Jamil yang juga mantan Dekan FIKOM IISiP Jakarta ini.

Tiga, Luhut Binsar Pandjaitan yang ditunjuk sebagai koordinator PPKM Darurat di Jawa – Bali bukanlah sosok yang kredibel di bidang kesehatan. Karena itu, ia harus tahu diri untuk tidak banyak bicara teknis kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan Covid-19.

“Untuk mengatasi hal itu, Luhut sebaiknya banyak melibatkan pakar kesehatan dari Kementerian Kesehatan, IDI, dan perguruan tinggi. Para pakar inilah yang diminta menyampaikan terkait Covid-19,” tandas Jamil.

Empat, koordinasi dengan pimpinan daerah perlu dilakukan lebih intensif agar pelaksanaan PPKM Darurat dapat berjalan sesuai tujuan. “Untuk ini, Luhut jangan menggunakan banyak perintah karena saat ini eranya otonomi daerah. Gubernur, Bupati, dan Wali Kota bukan bawahan Luhut. Karena itu, ia tak berhak perintah apalagi mengancam akan memecat pimpinan daerah bila tidak melaksanaka PPKM Darurat,” ungkap penulis buku Tipilogi Pesan Persuasif ini.

Jadi, Luhut harus menggunakan pola koordinasi yang sesuai dengan semangat otonomi daerah. Dengan begitu, Luhut sebagai Koordinator PPKM Darurat di Jawa-Bali dalam melaksanakan tugasnya tetap pada koridor otonomi daerah. (dwi)