M Jamiluddin Ritonga

Kastara.ID, Jakarta – Kembalinya mantan napi koruptor ke politik memang dilematis bagi partai politik.

“Di satu sisi, partai politik yang menerima kembali kadernya yang mantan napi koruptor akan dinilai mentolerir perilaku koruptif. Partai politik seperti ini seolah menentang amanah reformasi yang anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),” ungkap M Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta, kepada Kastara.ID, Sabtu (5/1).

Menurutnya, partai politik tersebut juga akan dinilai masih tergantung kepada kader mantan napi koruptor tersebut. “Hal ini akan dipersepsi masyarakat sebagai kegagalan partai tersebut dalam menambah dan menciptakan kader baru yang potensial menjadi pemimpin,” imbuh Jamil.

Di sisi lain, partai politik juga harus menghormati hak politik kadernya. Meskipun kadernya mantan napi koruptor, namun ia tetap memiliki hak untuk masuk partai politik.

“Karena itu, partai politik akan merasa bersalah bila menolak kadernya kembali ke kandangnya untuk berpolitik. Setidaknya partai politik tersebut akan merasa melanggar HAM kadernya untuk berpolitik,” jelas Jamil yang juga mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta ini.

Dilema tersebut seyogyanya dipahami oleh mantan napi koruptor. Ia idealnya menahan diri untuk tidak aktif di partainya agar masyarakat tidak memvonis partainya mentolerir perilaku koruptif.

“Kecenderungan itu tampaknya belum dimiliki para mantan napi koruptif. Mereka lebih mementingkan ambisi pribadi daripada dampak negatif ke partainya,” pungkas Jamil. (dwi)