Arsul Sani

Kastara.ID, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengingatkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) agar tidak melanggar prinsip due process of law dalam melakukan penegakan hukum terkait ujaran kebencian terhadap Presiden dan pejabat, serta pelanggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terkait penanganan wabah virus Corona atau Covid-19.

Hal itu disampaikannya, sehubungan dengan keluarnya Telegram Kapolri Idham Azis tentang penegakan hukum tindak pidana siber selama wabah Covid-19. Arsul juga mengingatkan tentang Surat Edaran Polri mengenai panduan penindakan kasus hoaks agar dilakukan dengan pendekatan preventif sebelum menindak secara tegas.

“Saya mengingatkan agar kerja-kerja penegakan hukum yg menjadi kewenangan Polri tidak melanggar prinsip due process of law, yakni jelas dasar aturannya dan prosedurnya dilakukan dengan benar,” ungkap Arsul dalam keterangan persnya, Senin (6/4).

Politisi Fraksi PPP ini menyampaikan proses penegakan hukum yang dilakukan Polri jangan sampai menimbulkan ketegangan sosial baru di tengah-tengah keresahan masyarakat yang sedang menghadapi makin merebaknya wabah Covid-19.

Dia mengingatkan, penindakan hukum terhadap mereka yang melakukan ujaran kebencian melalui media sosial atau yang menyebarkan hoaks diatur dalam Surat Edaran Kapolri No. 6 Tahun 2015 yang isinya meminta agar jajaran Polri melakukan langkah-langkah preventif terlebih dahulu dalam menghadapi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks sebelum melakukan proses hukum.

Menurut dia, apa yang ada dalam Surat Edaran Kapolri tersebut diterapkan secara baik oleh Polri untuk menghindarkan kesan bahwa institusi tersebut sewenang-wenang dalam penegakan hukum.

Selain itu, Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menyoroti keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengenai penangkapan 18 orang di kawasan Jakarta yang diduga melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Polda Metro Jaya dalam hal ini berdalih menggunakan Pasal 93 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan atau Pasal 218 KUHP untuk melakukan penindakan tersebut.

Arsul menegaskan, PSBB yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 dalam rangka percepatan penanganan virus Corona tidak mengatur penetapan PSBB pada wilayah di Indonesia. PSBB, lanjut Arsul, hanya diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB. Penetapan PSBB dilakukan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

“Sampai saat ini Menkes belum menetapkan DKI Jakarta sebagai wilayah PSBB. Karenanya, yang bisa dilakukan oleh jajaran Polri adalah meminta orang yang berkerumun untuk bubar. Jika, mereka melawan atau mengabaikan baru bisa digunakan pasal KUHP tentang tidak mentaati perintah pejabat yang sah,” jelasnya.

Lebih lanjut, Arsul meminta Polri mempelajari dengan lebih teliti lagi isi PP 21 Tahun 2020 yang pada pokoknya hanya menjelaskan tata cara Menteri Kesehatan menetapkan PSBB  berdasar Pasal 60 UU No. 6 tahun 2018. Demikian pula dengan Permenkes No 9 tahun 2020  baru mengatur mekanisme bagaimana suatu wilayah bisa ditetapkan PSBB, belum menyatakan suatu wilayah sebagai wilayah PSBB.

Polri juga diminta agar cermat melihat Permenkes No 9 tahun 2020 yang hanya mengatur mekanisme bagaimana suatu wilayah bisa ditetapkan PSBB dan belum menyatakan suatu wilayah sebagai wilayah PSBB. “Agar proses penegakan hukum yang dilakukan tidak malah menimbulkan ketegangan sosial baru di tengah-tengah warga masyarakat yang resah menghadapi wabah Covid-19,” tutup Arsul. (rso)