Prostitusi

Kastara.ID, Jakarta – Fenomena prostitusi online saat ini menyebabkan polemik tersendiri di kalangan elite dan masyarakat karena belum ada aturan jelas yang dapat membedakan pelaku, pemasar, dan korban. Selain itu, dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebenarnya ada pasal pidana yang membahas larangan untuk menyebarkan konten materi yang berbau porno.

Tetapi dalam kasus terakhir yang terjadi di Surabaya, Sabtu (5/1) lalu yang melibatkan public figure, permasalahan tidak terdapat pada konten pornonya, hanya dilakukan tawar-menawar biasa, maka secara konten mungkin sulit dijerat dengan pasal itu. Hal ini disampaikan dengan tegas oleh Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani.

“Nah karena selama ini dijerat hanya dengan pasal-pasal pidana tentang delik kesusilaan itu, maka yang kena yang ada di KUHP itu adalah orang yang punya profesi sebagai pemasar perbuatan cabul. Yang kena itu. Tapi pasal-pasal itu tidak mengatur pelaku, pemberi jasa, ataupun pengguna jasanya. Jadi kelemahannya di situ,” jelas Arsul sesaat sebelum Rapat Paripurna di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta (7/1).

Legislator Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengaku dalam pembahasan RKUHP, Komisi III DPR RI akan mendiskusikan kembali mengenai hukum prostitusi dalam politik hukum Indonesia akan diatur sebagai tindak pidana atau tidak. Ia menambahkan bahwa saat ini definisi mengenai perzinaan juga harus dibuat lebih spesifik dalam persoalan prostitusi.

“Pasal perzinaan di dalam KUHP kita yang ada sekarang itu kan pengertiannya adalah hubungan seksual antara pria dan wanita, di mana salah satunya itu sudah bersuami atau beristri dan itu diadukan oleh salah satu pihak suami atau istri. Persoalannya ada di situ, jadi tidak merupakan delik biasa,” imbuhnya.

Arsul mengingatkan bahwa persoalan prostitusi dan perzinaan ini memang pernah dibahas dan belum mencapai solusi. Untuk itu ia mengungkapkan bahwa penyelesaian hal ini kembali kepada komitmen DPR RI dan Pemerintah untuk berkoordinasi mengatur hukum Indonesia yang lebih baik.

“Sekarang terpulang kepada kita para pembentuk UU, dalam hal ini DPR dan pemerintah. Apakah akan membiarkan ini berjalan tak tersentuh oleh hukum atau kita atur. Jangan begitu kita mau atur malah di-nyinyiri, mengatakan kok negara masuk terlalu jauh dalam urusan orang, selalu ada yang seperti itu. Nanti kita perdebatkanlah, barangkali setelah Pemilu,” pungkas legislator dapil Jawa Tengah X tersebut. (rya)