Universitas Esa Unggul

Kastara.ID, Jakarta – Indometer merilis hasil survei yang berbeda urutan elektabilitas tokoh dengan yang diluncurkan Litbang Kompas, LP3ES, dan Indikator Politik Indonesia (IPI). Padahal waktu survei yang dilakukan keempat lembaga survei itu tak jauh berbeda.

Rilis tersebut mendapat sorotan dari Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga yang diutarakan kepada Kastara.ID, Sabtu (8/5).

Jamil menggarisbawahi catatan Indometer yang menempatkan Ganjar Pramono dengan elektabilitas tertinggi, yang diikuti Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yodhoyono (AHY).

Sementara Litbang Kompas memunculkan Prabowo Subianto dengan elektabiltas tertinggi, yang diikuti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, dan AHY.

LP3ES merilis elektabilitas Prabowo Subianto di peringkat pertama, yang diikuti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, AHY, Ridwan Kamil, dan Sandiaga Uno.

Sementara IPI meluncurkan Ganjar Pranowo dengan elektabilitas pertama, yang diikuti Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan AHY.

Jadi, empat lembaga survei itu memunculkan enam nama yang sama dalam peringkat enam besar. Hanya peringkatnya saja yang berbeda.

Menurut Jamil, hal itu terjadi minimal disebabkan empat faktor. “Pertama, dapat dilihat dari metodologisnya, seperti alat ukur (instrument) dan sampel yang diteliti. Kalau alat ukur dan sampel yang diteliti berbeda, maka wajar saja kalau hasilnya juga berbeda,” ungkapnya.

“Karena itu, perlu dilihat apakah alat ukur dan sampel yang diteliti empat lembaga survei itu sama atau berbeda? Perkiraan saya, alat ukur dan sampelnya berbeda, sehingga wajar kalau hasilnya juga berbeda,” imbuh penulis buku Riset Kehumasan ini.

Kedua, faktor waktu penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh empat lembaga survei itu tidak jauh berbeda. Karena itu, kalau pun hasilnya berbeda tentu tidak signifikan. Hal itu terlihat dengan tetap masuknya enam nama yang sama dalam enam besar dari empat lembaga survei tersebut.

Ketiga, faktor adanya peristiwa besar yang menyebabkan perubahan elektabilitas seseorang. “Selama kurun waktu April dan awal Mei 2021, selain AHY, tidak ada peristiwa besar yang dapat merusak nama baik mereka. Hanya AHY yang tampaknya diuntungkan dengan adanya peristiwa begal terhadap Partai Demokrat,” jelas pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini.

Empat, faktor objektivitas si peneliti. Faktor ini seharusnya sudah menyatu dalam diri si peneliti. “Namun dalam kenyataannya, masalah objektivitas kerap digadaikan hanya karena tidak independennya si peneliti. Faktor ini kiranya dapat menentukan perbedaan hasil survei, termasuk peringkat elektabilitas seseorang,” tandas mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta ini.

Jadi, empat faktor tersebut minimal dapat mempengaruhi perbedaan hasil survei, sebagaimana ditunjukkan oleh empat lembaga survei tersebut. Karena itu, khalayak harus cerdas membaca hasil survei agar tidak mudah tergiring oleh hasil survei.

“Apalagi ada indikasi, belakangan ini hasil survei digunakan untuk menggiring opini khlayak. Berhati-hatilah, karena ada saja peneliti yang rela menggadaikan objektivitas demi segepok rupiah,” pungkasnya. (jie)