Vaksinasi

Kastara.ID, Jakarta – Kemerdekaan pers di Indonesia harus tetap dijaga dan terus diperjuangkan. Sebab kemerdekaan pers merupakan bagian tak terpisahkan dari kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.

“Kalau kemerdekaan pers terancam, maka kemerdekaan berpendapat dan berekspresi dengan sendirinya tidak dapat diwujudkan dengan optimal. Hal ini membawa konsekuensi pada merosotnya demokrasi di Indonesia,” demikian diungkapkan Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga kepada redaksi Kastara.ID, Selasa (9/2) pagi.

Karena itu, ungkap dosen yang kerap disapa Jamil ini, persoalan kemerdekaan pers harus terus diingatkan kepada insan pers, termasuk saat awak media memperingati Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari di Ancol, Jakarta.

Ia menilai ancaman terhadap kemerdekaan pers itu sendiri dapat berasal dari internal dan eksternal media.

“Dari internal, faktor kesejahteraan akan mempengaruhi wartawan dalam melaksanakan kebebasan pers. Persoalan kesejahteraan tampak menonjol selama Covid-19. Banyak perusahaan pers menunda dan memotong gaji wartawan, termasuk melakukan pemutusan hubungan kerja,” papar pengajar Metode Penitian Komunikasi ini.

Menurut Jamil, dalam kondisi demikian, tentu wartawan tidak dapat melaksanakan profesi jurnalis secara optimal. Hal ini berimplikasi pada ketaatannya melaksanakan kemerdekaan pers.

“Pihak pemilik media juga mempengaruhi wartawan melaksanakan kemerdekaan pers. Ketika pemilik media berpihak kepada penguasa, dengan sendirinya wartawan di media tersebut harus ikut menjadi corong pemerintah. Wartawan tak berdaya, sehingga mengikuti kehendak pemilik media,” tandas penulis Riset Kehumasan ini.

Dari eksternal, Jamil melihat ancaman kemerdekaan pers dapat dilihat dari masih tingginya kekerasan terhadap wartawan. “Selama tahun 2020, tercatat 84 kasus kekerasan terhadap wartawan. Menurut AJI, kasus kekerasan terhadap wartawan pada tahun 2020 merupakan tertinggi sejak tahun 2006,” kata.

Celakanya, paling banyak jenis kekerasan terhadap wartawan berupa intimidasi dan kekerasan fisik, termasuk meningkatnya serangan digital terhadap media. Semua jenis kekerasan ini berpengaruh terhadap pelaksanaan kemerdekaan pers.

Jamil juga menyoroti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menjadi momok bagi wartawan. Sebab, hingga saat ini masih ditemukan wartawan menjadi korban kriminalisasi.

“Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga akan berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Sebab, dalam RKUHP kembali dimasukkan delik seperti ketentuan penodaan agama, makar, dan pencemaran nama baik,” katanya.

Ketentuan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden juga dimasukkan dalam RKUHP. Padahal ketentuan itu sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.

“Jadi, saat insan pers memperingati HPN di Ancol, seyogyanya membahas ancaman terhadap kemerdekaan pers. Ancaman itu harus diatasi agar kemerdekaan pers tetap lestari di negeri tercinta,” pungkas mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999 ini. (jie)