KPK

Oleh: Jaya Suprana

BBC News Indonesia memberitakan bahwa sedikitnya sembilan orang tewas dalam unjuk rasa menentang hasil pemilihan presiden di Jakarta 22-23 Mei 2019.

Statistik
Empat orang meninggal karena ditembak, satu orang meninggal karena kehabisan nafas tersengat gas air mata, dan empat orang meninggal tanpa keterangan resmi.

Komnas HAM mengungkapkan bahwa seorang warga mati tertembak di Pontianak, Kalimantan Barat, dalam aksi serupa pada tanggal 22-23 Mei 2019.

Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menegaskan tiga orang meninggal tanpa keterangan resmi pada unjuk rasa mahasiswa bertajuk “Reformasi Dikorupsi” di Jakarta 24 September 2019. Dua orang meninggal karena tertembak pada unjuk rasa mahasiswa dengan tajuk yang sama di Kendari 26 September 2019. Sementara 37 orang meninggal pada unjuk rasa anti rasisme di Wamena dan Jayapura 23-28 September 2019.

Kemanusiaan
Saya tidak mengetahui sejauh mana kebenaran pemberitaan tersebut.

Namun, apabila berita tersebut benar adanya maka sulit dibayangkan betapa berat derita sanak-keluarga yang ditinggalkan oleh para korban. Para sanak-keluarga korban pasti mengalami remuk-redam sanubari dengan skala-kadar-derita yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang merasakannya sendiri. Bagi mereka, angka statistik bukan sekadar angka belaka, namun merupakan suatu hantaman amat dahsyat terhadap lahir-batin dan jiwa-raga.

Jatuhnya korban nyawa unjuk-rasa tidak selaras makna adiluhur yang terkandung di dalam sila Kemanusiaan Adil dan Beradab.

Harapan
Tanpa berniat menyalahkan pihak mana pun juga, atas nama kemanusiaan layak diharapkan bahwa pihak yang berwenang dan berwajib berkenan memperbaiki tindakan menghadapi aksi unjuk-rasa yang merupakan bagian hakiki demokrasi di Tanah Air Udara tercinta kita ini.
Insya Allah, di masa depan tidak ada lagi satu pun warga Indonesia jatuh sebagai korban nyawa akibat kekerasan yang terjadi pada aksi unjuk rasa. (*)

* Penulis adalah rakyat Indonesia pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan