Mohammad Sabri

Oleh: Mohammad Sabri

RASIALISME adalah sebentuk anomali dalam sejarah kekuasaan. Jejaknya paling kuat, antara lain, terpatri pada detak jantung kesadaran bangsawan Castille Spanyol yang menemukan anggitan Sangre Azul bermakna “darah biru”: sebilah pengandaian yang merujuk pada warna biru yang tersembul dari pembuluh-pembuluh darah wangsa Castille. Sangre Azul, sejak itu menjadi petanda keunggulan, keagungan, klaim, dan juga pembeda: agar darah biru wangsa Castille tetap asli dan tidak tercemari oleh darah “nista” kaum migran, bangsa Moor dan Yahudi. Di rentang babakan sejarah itu pula “darah biru”, secara alegoris, menjadi jubah keagungan para raja yang mengusung kekuasaan absolut monarkhi-aristokratik di seantero jagat.

Konsep Sangre Azul mengandaikan kehadiran sosok pemimpin-panutan, yang dalam  pendakuan antropolog Clifford Geertz diperlakukan sebagai “pusat kepatutan” (exemplary center). Paham tentang pemimpin-panutan sangat mungkin berakar dari masa keemasan monarkhi-aristokrasi, ketika hubungan patron-klien menjadi paradigma dominan relasi-relasi sosial. Di titik ini, mereka yang dianggap pemimpin dengan sendirinya menjadi role-model bagi perilaku orang ramai atau rakyat (populi). Ungkapan Prancis noblesse oblige merupakan warisan dari masa monarkhi-aristokrasi, yang percaya jika “status sosial seseorang yang lebih tinggi mengandaikan kewajiban yang lebih kompleks, termasuk dalam hal kewajiban teladan hidup.” Pemimpin, sebab itu, diandaikan hanya tumbuh-mekar dari kaum bangsawan-aristokrat.

Namun paham noblesse oblige belakangan dilumat oleh gelombang revolusi Prancis pada 1789, menyusul ide demokrasi yang mengusung gagasan persamaan semua orang di hadapan hukum: setiap orang yang melakukan kesalahan yang sama—dalam konteks yang sama, musti dihukum dengan hukuman yang setara—meski mereka bermuasal dari status sosial yang berbeda. Dengan begitu, demokrasi mengandaikan adanya persamaan dalam hal moralitas di antara setiap orang, namun dalam formasi negatif: orang-orang dengan kebajikan yang jamak, dapat jatuh dalam kesalahan yang sama, terutama ketika mereka di kursi kekuasaan. Akibatnya, asas noblesse oblige dikoyak oleh prinsip power tends to corruptkecenderungan kepada penyelewengan dan kejahatan selalu melekat pada pilar-pilar kekuasaan.

Demokrasi, sebab itu, mengubah paras politik kekuasaan dari sistem monarkhi-aristokrasi —yang mengandaikan kedaulatan di “tangan raja” dan darah biru sebagai jiwanya— ke kedaulatan di “tangan rakyat”. Ide inilah yang dianut oleh hampir semua negara yang memeluk sistem demokrasi. Pergeseran tersebut juga terlukis kuat dalam napas sejarah yang menandai proses transmisi kekuasaan politik di Indonesia dari sistem kekuasaan raja-raja di Nusantara ke sistem republik atau res-publica yang mengandaikan kedaulatan politik di tangan rakyat. Sejak itu, kehidupan demokrasi di tanah air mengalami pasang surut.

Jika kita melihat dengan seksama pada catatan demokrasi di Indonesia sejak 1998, akan tampak lukisan yang lebih kompleks. Meskipun tak ada kesangsian bahwa negara ini sudah mencatat kemajuan luar biasa sejak berakhirnya era pemerintahan otoritarian serta layak dipuji karena memiliki pemerintahan baru yang terpilih secara demokratis, namun catatan-catatan belakangan menghadirkan serangkaian stagnasi bahkan di area tertentu mengalami distorsi akut dalam kehidupan demokrasi.

Hal yang terakhir menunjuk pada sebuah gejala, diskursus darah mulai memasuki tahapan serius dalam paras perpolitikan kita. Apa artinya wacana “darah biru” atau politik “dinasti” dalam politik Indonesia? Jika “darah biru” merujuk pada darah Castillian, maka ini jelas lonceng kematian bagi masa depan demokrasi di tanah air.

Ketika darah telah menjadi “paras” baru dan menghiasi perpolitikan Indonesia, maka ada dua pesan yang hendak diungkapkan: pertama, terjadi anomali dalam kehidupan politik-demokrasi kita; kedua, persaingan menuju lingkaran elit kekuasaan adalah sesuatu yang elok tapi juga mencemaskan. Kehadiran partai-partai politik lebih sebagai agen dari praktik politik yang monoton dan menjemukan, menyusul kian gemuruhnya diskursus darah yang kian membiru di panggung politik nasional.

Diskursus “darah biru” (Sangre Azul) dengan begitu, secara esensial menghalau pergerakan alami sirkulasi elite. Sebab, diskursus ini hendak menegaskan satu hal: bahwa manusia lahir tidak sama—khususnya  dalam hal darah— yang berdampak pada kepatutan berkuasa. Sebuah pandangan yang justru telah terkubur dalam, beriringan terbentuknya republik tercinta.

Angin sejarah kekuasaan berembus dan memekarkan sebilah kesaksian: Diskursus “darah biru” (Sangre Azul) tidak pernah sukses untuk mempersatukan, kecuali dengan jalan-jalan kekerasan dan dehumanisasi. Itu sebab —ketika akhir-akhir ini— terbit wacana kemungkinan organisme negara dan institusi demokratik menjadi wadah untuk menghidupkan kembali “darah biru” di atas panggung politik-demokrasi kita, tidak saja cerminan dari sebuah sesat pikir tapi ancaman serius bagi masa depan demokrasi. Sebab, darah demokrasi tidak berwarna biru, bung! (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).