Kastara.ID, Jakarta — Kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali terkuak. Kali ini terjadi di Batang, Jawa Tengah, di mana seorang pengasuh ponpes diduga melakukan aksi pencabulan terhadap belasan santriwatinya sejak 2019 hingga 2023. Kekerasan seksual ini mengingatkan publik atas kasus serupa yang terjadi Bandung di mana pelakunya Herry Wirawan divonis hukuman mati.

Anggota DPD RI yang juga Aktivis Perlindungan Anak Fahira Idris mengungkapkan, berulangnya terus kekerasan seksual terhadap anak harus dilawan. Salah satunya dengan penegakkan hukum yang paling berat sesuai kehendak undang-undang perlindungan anak yaitu maksimal hukuman mati.

“Vonis mati Herry Wirawan bisa jadi yurisprudensi bisa bagi penegak hukum baik di kepolisian, kejaksaan maupun kehakiman dalan mengadili kasus dugaan pelecehan seksual balasan santi yang terjadi di Batang ini. Dengan perangkat perundang-perundang perlindungan anak yang ada saat ini, tidak boleh ada lagi hukuman ringan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Jika korbannya lebih dari satu apalagi belasan, maka pelaku adalah predator anak sehingga hukuman mati wajib jadi salah satu opsi,” ujar Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (13/4).

Menurut Fahira Idris, jika dalam pendalaman kasus ini dan nanti saat di persidangan ditemukan fakta-fakta korban lebih dari satu, kekerasan seksual dilakukan secara sistemik, berulang-ulang dan berdampak luas terhadap para korban termasuk keluarga korban dan masyarakat, maka bisa dijerat dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5) jo Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, yaitu hukuman mati.

Bagi Fahira Idris, putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang mengabulkan banding Kejaksaan Tinggi Jawa Barat atas putusan Pengadilan Negeri Bandung, yang menghukum Herry Wirawan pidana penjara seumur hidup menjadi hukuman mati, menjadi yurisprudensi yang kuat terhadap kasus ini.

“Kasus Herry Wirawan ini semakin kuat menjadi yurisprudensi untuk kasus di Batang ini, karena Mahkamah Agung (MA) juga menolak permohonan kasasi Herry Wirawan, sehingga hukuman mati terhadap predator anak ini berkekuatan hukum tetap dan bisa dieksekusi. Saya meyakini vonis hukuman yang tegas untuk terdakwa predator anak adalah salah satu cara paling efektif untuk menghilangkan praktik kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia,” pungkasnya.

Sebagai informasi, saat ini Kepolisian masih terus mendalami jumlah santriwati yang menjadi korban pencabulan pengasuh ponpes di Batang, Jawa Tengah. Pelaku yang bernama WMA (57) telah melakukan aksi pencabulan terhadap santriwatinya sejak 2019 hingga 2023. (dwi)