Tol Cijago

Kastara.id, Depok – Pembebasan tanah untuk jalan tol Cijago Seksi III belum tuntas walaupun sudah dimulai sejak tahun 2006 hingga saat ini. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan penentuan harga tanah yang dianggap tidak rasional.

Bertempat di kediaman Ketua Forum Tol Cijago Seksi III Haryanto, Minggu (12/8) malam, disampaikan beberapa hal yang dianggap janggal.

“Kami ini tidak menuntut yang neko-neko untuk harga ganti rugi jalan Tol Cijago Seksi III, harga tertinggi Rp 11.500 ribu/m2 dan yang terendah adalah sekitar Rp 5.000 ribuan/m2. Itu pun masih juga tidak disetujui oleh pengadilan dengan dalih tidak dapat membuktikan keakuratan datanya,” keluh Haryanto.

Menurut Haryanto, pihaknya telah membawa saksi ahli dan saksi fakta untuk didengar keterangannya dan disumpah dalam memberikan keterangan sebenar-benarnya sebagai bahan pertimbangan. Juga dilampirkan dokumen-dokumen asli lainnya sebagai pendukung. Namun hakim memutuskan menolak permohonan kami dan silakan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sejak keputusan ini tertanggal 01 Agustus 2018. Tetapi hingga hari ini (12/8) keputusan tertulis dari Pengadilan Negeri Depok belum kami terima,” ungkap Haryanto.

Protes Warga

“Ada satu kejanggalan lainnya yakni salah satu warga di luar kelompok kami namun areal tanahnya masih satu jalur dengan kelompok kami. Melalui pengacara yang sama namun dengan hakim yang berbeda, permohonannya untuk harga tanah sejumlah Rp 11.500 ribu/m2 dikabulkan. Sedangkan kami dengan pengacara yang sama, objeknya sama, namun ditolak. Aneh kan ini?” papar Haryanto.

Menurut Haryanto, ada Perda tahun 2011 yang mengatur nilai bangunan yakni senilai Rp 2.424.000,-/m2, namun pada tahun 2018 oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Firman Aziz dan Rekan dinilai hanya Rp 2.200.000,-/m2. Sesuai Perda dari Wali Kota tentang Tata Ruang yang berlaku dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2015 bahwa areal Kukusan hingga Tanah Baru yang dilalui Jalan Palakali, Bungur, hingga Tanah Baru adalah areal yang sama.

Haryanto pun menjelaskan contoh pembayaran di daerah Kelurahan Kukusan pada tahun 2016 sebagai dokumentasinya. “Yang kami tuntut itu harga yang layak dan berperikeadilan. Harga tertinggi daerah Kukusan Rp 28 juta/m2 dan yang terendah Rp 8,3 juta/m2. Sedang kami hanya minta yang tertinggi itu Rp 11 jutaan/m2 dan yang terendah Rp 5 juta/m2. Sedangkan penilaian saat ini tertinggi Rp 7 juta/m2 dan terendah Rp 1,8 juta/m2,” papar Haryanto.

Haryanto pun bersikukuh jika hingga proses akhir tidak ada titik temu maupun kesepakatan, maka pihaknya tidak akan menjual tanah miliknya.

“Bukan kami tidak mendukung program Pemerintah, bukan pula kami menghambat, namun rasa kemanusiaan dan perikeadilan yang kami inginkan. Semoga ini didengar oleh pemangku kepentingan,” pungkasnya. (rud)