Politik Hukum

Oleh: Fadil Aulia

SUARA rakyat adalah hukum tertinggi atau Solus populi suprema ets lex. Postulat ini nampaknya cukup pas untuk memberikan gambaran terhadap politik hukum yang berada pada titik nadir terendah. Ketika kita bicara mengenai politik hukum maka kita membayangkan mengenai bagaimana menyusun aturan hukum. Ketika berbicara mengenai aturan hukum kita membayangkan bagaimana masyarakat tertib, aman, dan sejahtera.

Akan tetapi harus diakui beberapa waktu belakangan ini kondisi politik hukum di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Akhir-akhir ini sebagian besar kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh the ruler selalu menuai protes dari publik. Mulai dari UU KPK, UU Minerba, UU Mahkamah Konstitusi, dan yang baru-baru  ini UU Cipta Kerja. Beberapa UU tersebut tidak terlepas dari penolakan dari publik. Tidak terimanya publik terhadap kebijakan hukum yang dikeluarkan menjadi pertanyaan besar di banyak kalangan khususnya di kalangan akademisi, mengapa bisa masyarakat tidak menerima kebijakan hukum yang dikeluarkan?

Jika dilihat dari tujuan dari pada hukum itu sendiri yaitu salah satunya melindungi kepentingan publik atau masyarakat maka tidak terimanya atau munculnya penolakan publik terhadap kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh the ruler beberapa waktu belakangan ini jawabannya ialah tidak terlapas karena kepentingan publik tidak teraplikasikan bahkan tidak terlindungi. Terkait tidak teraplikasikan dan tidak terlindunginya kepentingan publik dalam politik hukum yang dikeluarkan ada banyak penyebabnya. Salah satu poinnya ialah tidak adanya pelibatan partisipasi masyarakat dalam mengambil kebijakan hukum.

Partisipasi Mayarakat
Pelibatan Partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan hukum merupakan suatu hal yang harus dilaksanakan oleh the ruler. Dikesampingkannya partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan hukum tentunya akan memunculkan permasalahan dan penolakan dari publik itu sendiri. Habermas mengatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah suatu hal yang harus ditekankan dalam pengambilan kebijakan hukum. Dilupakan atau dikesampingkannya partisipasi masyarakat dalam politik hukum merupakan kritik besar habermas terhadap berjalannya politik hukum. Sebagaimana yang dikatakan oleh Habermas, ketika kemampuan memproduksi hukum didelegasikan melalui pola-pola pertukaran jaring-jaring sistem sosial tertentu yang beroperasi secara independen maka reproduksi hukum akan jatuh di bawah kekuasaan dualitas ambigu yang memisahkan negara dari unit-unit sosial masyarakat. 

Di sisi lain berbicara politik hukum, Mahfud MD mengatakan bahwa setidaknya terdapat tiga hal mendasar yang bisa dibahas ketika berbicara mengenai politik hukum. Pertama, cetak biru dari kebijakan dan peraturan yang dicita-citakan. Kedua, tarik-menarik kepentingan politik pada proses di dalam ruangan pembahasan dan persetujuan legislasi. Ketiga, bagaimana suatu aturan bisa terimplementasi sebagaimana yang diharapkan. Untuk melihat bagaimana jalannya politik hukum ketiga hal tersebut, tentunya bisa dikaitkan dengan apakah ada pelibatan kepentingan publik di dalamnya.

Cetak Biru
Bicara mengenai politik hukum berarti bicara bagaimana membangun cetak biru kebijakan hukum. Cetak biru itu maksudnya cita hukum kedepan itu seperti apa. Kalau kita baca konsep yang ada, cetak biru itu yang dimaksud pasti pertama, berdasarkan kepada pancasila sebagai dasar negara kita. kedua adalah kalau kita bilang cetak biru maka pasti kita bilang bahwa tujuan bernegara. Tujuan bernegara kita ada di UUD 1945. ketiga tentu saja adalah soal RPJP dan RPJM. Akan tetapi jika melihat beberapa kebijakan hukum yang keluar akhir-akhir ini sangatlah tidak terlihat sekali cetak birunya. Kepentingan rakyat soalah-olah tidak terlihat dalam cetak biru politik hukum beberapa waktu belakangan ini. Cetak biru yang seharusnya bisa menyerap kepentingan-kepentingan dari masyarakat, akan tetapi beberapa waktu belakangan yang terlihat adalah kepentingan dalam lingkungan para penguasalah yang justru terlihat.

UU Cipta Kerja salah satu contohnya. Cetak biru UU ini  yang diharapkan untuk mensejahterakan masyarakat dengan pembukaan lapangan kerja besar-besaran, akan tetapi pengkembirian hak-hak dan kepentingan masyarakat yang malah terjadi. Jauhnya UU ini dari cetak birunya memberikan gambaran bahwa terjadi pergeseran dalam cetak biru politik hukum di Indonesia beberapa waktu belakangan ini yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan publik akan tetapi malah sebaliknya yaitu memberikan perlindungan terhadap kepentingan orang-orang dalam lingkungan penguasa dan mengkebiri kepentingan-kepentingan publik.

Tarik-Menarik Kepentingan Politik
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahfud MD bahwa politik hukum itu juga bermakna pertarungan ditingkat penyusunan. Pertarungan disini tidak lain adalah pertarungan kepentingan politik. Di sisi lain siapapun paham bahwa UU merupakan resultante kepentingan politik kalau bahasanya Zainal Arifin Mochtar. Akan tetapi, meskipun begitu di situlah munculnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yaitu memberikan ruang agar tidak hanya sekedar memenuhi kaidah politik. Adanya konstitusi dan peraturan perundang-undangan untuk membuka ruang partisipasi, aspirasi dan tindakan penyesuaian serta masukan lainnya dari publik. Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jelas memberikan kedudukan kepada partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting.

Akan tetapi meskipun Pasal 96 tersebut memberikan posisi partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang dominan akan tarik-menarik kepentingan politik tersebut, dalam praktiknya beberapa waktu belakangan ini hal tersebut terlihat sekali diterabas oleh para penyusun peraturan perundang-undangan. Partisipasi menjadi hal yang dilupakan di tengah tarik-manarik kepentingan politik yang terjadi di antara penguasa. Diterabas atau dikesampingkannya partisipasi, kepentingan masyarakat dalam penyusunan ini tentunya membawa dampak buruk terhadap masyarakat terkait dengan Kebijakan Hukum yang akan dikeluarkan.

Implementasi
Gagapnya kepentingan publik dalam cetak biru politik hukum dan dikesampingkannya partisipasi publik dalam tahap penyusunan di tengah tarik-menarik kepentingan politik tentunya akan membawa dampak buruk terhadap implementasi suatu kebijakan hukum. Masyarakat tidak akan bisa menerima suatu kebijakan hukum yang tidak menyerap asipirasi yang ada. Penolakan adalah hal yang wajar terjadi jika kepentingan publik tidak terakomodasi di dalam cetak biru dan tarik-menarik kepentingan politik dalam proses penyusunan perundang-undangan.

Tidak dilibatkannya buruh dalam penyusunan dan pembahasan UU Cipta Kerja sudah barang pasti akan memunculkan penolakan dari para buruh terhadap UU Cipta Kerja tersebut. Karena buruh yang tidak dilibatkan merasa bahwa kepentingan yang dilindungi dalam UU tersebut bukanlah kepentingan para buruh akan tetapi kepentingan para penguasa.

Lalu apa?
Jika berharap politik hukum di Indonesia berjalan sesuai dengan rel yang sudah ditentukan, yang tidak menimbulkan pendapat-penadapat kontra atau penolakan maka kepentingan publik adalah hal yang penting untuk diakomodasi dalam politik hukum. Politik hukum harus berbasis kepada kepentingan publik. Ke depan, cetak biru peraturan perundang-undangan harus melihat kepentingan publik, penyusunan peraturan perundang-undangan harus melihatkan partisipasi masyarakat agar implementasi dari pada perundang-undangan yang dibuat bisa berjalan sesuai dengan cita-cita negara dan mensejahterakan rakyat. Ya, Politik Hukum yang berbasis kepentingan publik adalah jawaban dari pada kegelisahan akan politik hukum yang tidak mempunyai arah. (*)

* Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.