Jamiluddin Ritonga

Kastara.ID, Jakarta – Presiden Jokowi akan meminta DPR untuk merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jika penerapannya memang tidak memberikan keadilan bagi masyarakat.

Demikian diungkapkan Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga kepada Kastara.ID, Selasa (16/2), terkait kembali maraknya komentar soal UU ITE.

“Rasa ketidakadilan itu memang sudah lama dirasakan masyarakat. Sudah banyak korban dari UU ITE, terutama yang kritis terhadap pemerintah masuk penjara. Sementara yang mendukung pemerintah, meskipun diadukan, tetap aman-aman saja,” ungkapnya.

Itu artinya, ada pasal dalam UU ITE yang multi tafsir, sehingga dapat diberlakukan berbeda untuk kasus yang sama. Pasal-pasal ini disebut pasal karet, khususnya Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2.

Pasal yang terkait pencemaran nama baik itu, ungkap pria yang kerap disapa Jamil ini, disadari atau tidak sudah dijadikan alat politik. Pihak-pihak yang kritis akan dengan mudah dijerat dengan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.

“Hal itu awalnya tidak diakui oleh partai pendukung pemerintah. Namun setelah Presiden Jokowi menyatakan akan meminta DPR merevisi UU ITE, maka partai pendukung ibarat paduan suara mengaminkan adanya pasal karet tersebut,” tandas penulis buku Tipologi Pesan Persuasif ini.

Menurutnya, perubahan sikap tersebut menunjukkan masih berseminya sikap Asal Bapak Senang (ABS) di internal partai pendukung pemerintah. “Apa pun yang dikatakan presiden akan dengan seketika diaminkan,” katanya.

Menurut mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999 ini, sikap feodal itu membuat bangsa ini sulit untuk maju. “Para elit partai yang seharusnya mendorong perubahan di negeri ini, ternyata hanya pengekor yang cenderung hanya untuk mempertahankan status quo,” ungkapnya.

Hal itu kiranya jadi masukan bagi Presiden Jokowi mengenai mentalitas orang-orang sekitarnya. “Presiden perlu mencari orang-orang yang berani berpendapat berbeda untuk mengingatkannya tentang jalannya pemerintahan yang sebenarnya,” pungkas pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini. (jie)