Ibu

Oleh: Ahmad Zainul Hamdi

SEPERTI biasa, di atas podium, suaranya selalu menggelegar. Tekanan-tekanannya tegas. Tapi, kali ini, entah mengapa saya merasakan kelembutan seorang anak di balik gelegar gunturnya.

Di hadapan 29.069 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPPK) Kementerian Agama Republik Indonesia yang tengah suka ria karena penantian panjangnya untuk menjadi pegawai pemerintah akhirnya terkabul, Gus Menteri, Gus Yaqut Cholil Qoumas, memberi nasihat yang menyentuh hati. Setelah menasihati para pegawai PPPK agar bersyukur kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa, beliau mengingatkan agar mereka berterima kasih juga kepada Presiden Joko Widodo. Bagaimanapun juga, pengangkatan para tenaga honorer yang sekian puluh tahun terlunta-lunta tanpa kepastian masa depan pada akhirnya terselesaikan karena kebijakan yang diambil Presiden.

Banyak kisah di belakang ini semua. Ada suami yang merasa pekerjaannya di kantor tidak dihargai dan akhirnya membuka warung kopi karena gaji bulanan yang jelas-jelas hanya bisa mencukupi kebutuhan beberapa hari. Ada seorang kakak yang menanggung pendidikan adik-adiknya. Dia hanya bisa memendam tangisan dan melangitkan doa-doa agar kelak bisa mendapatkan SK pengangkatan sehingga mendapatkan gaji yang mencukupi. Ada seorang istri yang harus menghidupi dua putrinya yang masih kecil karena suaminya hanya meminta layanan sambil menceramai si istri dalil-dalil ancaman bagi istri yang tidak taat pada suami, tapi tak pernah mendidik dirinya tentang kewajiban suami untuk menafkahi keluaqrga.

Puluhan, ratusan, bahkan ribuan kisah sedih itu akhirnya meledak menjadi kebahagiaan. Penantian yang melelahkan itu berbuah tangis kebahagian yang berbaur dengan sumringah di wajah karena beban di pundak terasa ringan tiba-tiba.

Kemudian, kepada mereka yang sedang bahagia itu, Gus Menteri menasihati agar segera “menemui” orang tua. Jika tempat tinggal orang tua jauh, beliau meminta, “Jangan hanya kirim pesan tertulis. Teleponlah! Jika memiliki paketan yang cukup, video call!” Kalimat ini dinyatakan berulang-ulang. Berulang-ulang. Berulang-ulang. Saya yang hanya datang sebagai undangan, tiba-tiba kangen pada ibu. Saya video call ibu. Ketika beliau tanya, ‘ada apa?’, saya katakan, ‘Kulo (saya) kangen ibu’.

Jika menjadi pegawai PPPK adalah sebuah kesuksesan, faktor apakah yang membuat seseorang berhak mendapatkannya? Apakah ini semata-mata soal kompetensi? Bahkan, mungkin kita sendiri tidak yakin bahwa kesuksesan kita adalah karena sepenuhnya kompetensi kita. Jika ini karena doa, doa siapakah yang mendentam hingga sanggup membuka arasy langit? Tangis siapakah yang didengar Allah? Ibadah kita? Doa-doa kita?

Mari kita lihat keringat ayah kita saat dia bekerja untuk memberi makan dan membayar uang sekolah kita. Tiap tetesan keringat itu adalah doa sekalipun beliau mungkin tak fasih, bahkan mungkin tak hafal, satu pun doa sebagaimana yang tertulis di buku Kumpulan Doa. Dekapan ibu kita adalah doa. Detak-detak jantungnya adalah doa. Hirupan nafasnya adalah doa. Doa-doa ini mungkin tak pernah terlafazkan. Tapi detik demi detik bagi orang tua adalah doa dan harapan untuk kebaikan anaknya.

Oren Arnold (1900-1980), seorang jurnalis dan novelis dari Amerika, suatu kali pernah menulis: “The best gifts to give: To your friend, loyalty; To your enemy, forgiveness; To your boss, service; To a child, a good example; To your parents, gratitude and devotion; To your mate, love and faithfulness; To all men and women, charity.”

(Hadiah terbaik untuk diberikan adalah sebagai berikut: Kepada temanmu, jangan pernah mengkhianatinya; kepada musuhmu, berilah permaafan; kepada bosmu, berilah pelayanan; kepada anak, berilah teladan yang baik, kepada orang tua, hormati dan berbaktilah; kepada pasanganmu, berilah cinta dan kesetiaan; kepada semua orang; berbelas kasihlah).

Jika saat ini kita merasa sukses, jangan pernah sombong. Tetaplah tundukkan kepala karena hanya Allah-lah pemilik kekuasaan sejati. Kepada pimpinan kita, jangan mengkhianatinya, apalagi menusuknya dari belakang. Kau ambil kekuasaannya, kau singkirkan dirinya, kau hinakan keluarganya, tapi kemana-mana kau jual namanya. Kepada orang tua, ingatlah bahwa keringat, kelembutan kasih sayangnya, dan doa-doanyalah yang mengantarkan kita saat ini. (*)

* Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kemenag.