RUU HIP

Kastara.ID, Jakarta – Ketua PBNU Bidang Hukum dan Perundang-undangan Robikin Emhas mengatakan, pihaknya mendesak DPR segera menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

“RUU tersebut ada yang bertentangan, mempersempit tafsir, tidak relevan, tidak urgen, dan menimbulkan konflik,” kata Robikin, Rabu (17/6).

Robikin menyatakan, Pancasila merupakan perjanjian agung, tersusun dari lima sila yang memuat nilai-nilai luhur yang saling menjiwai dan satu kesatuan. Ia menyebutkan, sila Ketuhanan menjiwai Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial itu tidak bisa diperas lagi menjadi trisila atau ekasila.

Menurut Robikin, Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu. Pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturan norma dalam masyarakat.

Selain itu, Robikin beranggapan Pancasila adalah hukum tertinggi atau sumber dari segala sumber hukum yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai hukum tertinggi yang lahir dari konsensus kebangsaan, kata dia, Pancasila tidak bisa diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

Menurutnya, pembakuan tafsir atas Demokrasi Pancasila dalam suatu undang-undang jelas akan mempersempit ruang tafsir yang memandekkan kreativitas, dan inovasi yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan bangsa sesuai dengan tuntutan zaman.

Melihat persoalan tersebut serta mencermati Naskah Akademik dan draf RUU HIP, Robikin menyampaikan penilaianĀ terhadapĀ Pasal 3 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 RUU HIP yang menurutnya bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan.

Sementara itu, Pasal 13, 14, 15, 16, dan 17 RUU HIP akan mempersempit ruang tafsir yang menjurus pada monotafsir Pancasila. Lalu Pasal 22 terkait pembangunan nasional dan turunannya tidak relevan diatur dalam RUU HIP.

Sedangkan Pasal 23 RUU HIP yang berkaitan dengan perwujudan pembangunan nasional di bidang agama, rohani dan kebudayaan dapat menimbulkan benturan norma agama dan negara.

Pasal 34, 35, 37, 38, 41, dan 43 disebutnya sebagai bentuk tafsir ekspansif Pancasila yang tidak perlu. Lalu Pasal 48 ayat (6) dan Pasal 49 dapat menimbulkan konflik kepentingan. (ant)