Debat Pilpres 2019 watyutink
Oleh: Erros Djarot

BEGITU lama dan menegangkan saat menanti hari H dan jam tayang debat capres pada pemilu kali ini. Bagi yang seumuran saya berdebar dan penasaran ingin tahu hasilnya, persis seperti saat menanti pertandingan spektakuler, The rumble in the jungle antara Mohammad Ali vs George Forman, di Kinshasa, Zaire, 1974, tempo dulu.

Bedanya, pertandingan Muhammad Ali alias Cassius Clay lawan George Foreman berlangsung seru dan membuahkan surprise serta kepuasan penonton yang menyaksikan jalannya laga akbar abad 20 ini. Di samping sajian mutu tinju yang berkualitas di mana Muhammad Ali memperkenalkan pada dunia tinju teknik ‘rope a dope’ yang sangat brilian dan dicatat dalam sejarah tinju dengan tinta emas, dikenang sepanjang zaman.

Sementara acara Debat Capres yang digelar KPU pada malam Jumat Pon, 17 Januari 2019, antara Jokowi vs Prabowo, berlangsung dengan sangat kaku, penuh formalitas, tanpa surprise atau sajian mutu sebagaimana harapan. Dengan kata lain berjalan anti klimaks.

Apa yang kedua kandidat suguhkan hanyalah rangkaian kata dari sejumlah ucapan dan penyampaian yang selama dua bulan ini telah banyak dijual ke publik. Nothing new, gak ada yang baru atau surprise yang berarti. Sehingga mengharap lewat gelaran debat terjadi eskalasi perolehan suara atau sebaliknya bagi para pasangan capres-cawapres, agaknya tidak terlalu bisa diharapkan. Apalagi ketika di sepanjang dua bulan waktu kampanye masyarakat telah digiring dalam dua kubu dengan semangat fantisme sempit, alias… pokoke jagoku Oye!

Paling banter yang cukup menarik adalah pemandangan bagaimana Prabowo berusaha membangun citra diri sebagai sosok yang cool-calm, dan tampak menahan emosi agar hadir santun, begitu kentara diperagakan sehingga terlalu kelihatan ketidaknaturalannya. Tidak seperti Sandi yang tampil rileks dan hadir seperti tanpa beban. Bahkan gerak tubuh dan ucapan yang diperagakan Sandi cukup membuat Prabowo terpoles hingga kesan temperamental dan agresif relatif tertutupi. Terlebih pada adegan saat Sandi memberi ‘spesial pijatan’ pada pundak bagian belakang Prabowo.

Nah, yang memberi surprise penonton justru penampilan Jokowi yang lebih agresif ketimbang Prabowo. Petahana yang dalam kebiasaan debat presiden di berbagai negara selalu lebih banyak menerima serangan lawan, kali ini justru Jokowi sebagai petahana yang dengan nada cukup tinggi melakukan penyerangan. Tembakannya seputar HAM dan korupsi yang diarahkan kepada kinerja dan sikap Prabowo sebagai Boss-nya Gerindra berikut masa lalunya sebagai komandan Kopasus dengan kasus yang sangat sensitif seputar HAM, dilontarkan Jokowi dengan tegas walau tak terlalu eksplisit melibatkan Prabowo dengan kasus penculikan para aktivis di era pemerintahan Orde Baru.

Catatan yang menarik juga tertuju ada figur Cawapres Ma’ruf Amin. Walau dalam kaitan tugas dan tanggung jawab seorang Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam perundang-undangan tak lebih hanya sebatas figur ‘ban serep’, tapi rakyat pendukung begitu menanti bagaimana penampilan mantan Ketua MUI yang sudah sangat berumur ini dalam debat semalam.

Ternyata yang digelontorkan oleh para strategis di belakang kubu Jokowi-Ma’ruf Amin, hanya tampilan ‘paket hemat’. Minim kata, minim bicara, minim ekspresi. Kesempatan rakyat yang meridukan suaranya, hanya diberi sedikit porsi ketika Ma’ruf Amin secara  normatif mengutarakan sikapnya seputar isu teroris dan radikalisme. Selebihnya beliau hanya berdiri setia sebagai pendamping Jokowi yang baik. Diperjelas dengan ucapannya ketika diminta menambahi komentar setelah uraian panjang Jokowi dengan kalimat singkat… ”saya setuju dengan uraian Pak Jokowi..!”

Mungkin Debat Capres tema besarnya perlu ditambah. Bukan lagi lebih hanya pada penekanan Debat Capres-Cawapres, tapi lebih ditekankan kepada kebutuhan bangsa ini yang bersifat sangat mendesak…”Mencari Pemimpin Bangsa Indonesia ke Depan”. Karena yang sangat dirasakan melihat pembelahan rakyat ke dalam dua kubu yang bakal terus berseteru (berkelanjutan) secara sistemik, bukan hanya kelas seorang Presiden versi KPU yang dibutuhkan bangsa ini ke depan, tapi lebih seorang presiden yang juga memiliki bobot sebagai seorang Pemimpin Bangsa yang sanggup menyatukan bangsanya hingga berdaya dan berkekuatan besar!

Apakah kedua pasangan kandidat berpotensi memenuhi tuntutan tersebut? Kita tunggu saja pada debat berikut sambil terus memperbesar dan memperkuat barisan civil society yang sehat akal dan budi pekertinya. Dalam hal ini, Indonesia jutru sangat mendesak membutuhkannya! (watyutink/*)