Perludem

Kastara.ID, Jakarta – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan, penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 karena pandemi Covid-19 bukan  kegagalan dalam berdemokrasi. Penundaan pilkada justru akan melindungi rakyat dari penularan Covid-19.

“Ketika situasi Covid-19 ini belum membaik, bahkan angkanya cenderung meningkat, maka kalaupun nanti memutuskan untuk menunda Pilkada 2020 itu bukan berarti KPU gagal, Bawaslu gagal, ataupun pemerintah gagal dalam kita berdemokrasi,” kata Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati, melalui keterangannya, Sabtu (19/9).

Menurutnya, apabila keputusan penundaan pemilu benar-benar diambil, maka masyarakat justru akan mengapresiasi langkah tersebut. Pemerintah akan dinilai tanggap dalam melindungi rakyatnya dari situasi pandemi Covid-19.

Khoirunnisa mengatakan, penyelenggara pemilu masih mungkin untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020 apabila kondisi pandemi Covid-19 belum berakhir.

Ia menambahkan, penundaan pilkada tersebut, kata dia, telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan UU Pilkada.

“Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 membuka kemungkinan itu. Kalau misalnya situasinya memburuk, bencana bukan alamnya semakin memburuk memang bisa ditunda,” urainya.

Khoirunnisa mengatakan bahwa masyarakat sipil sejak awal pandemi Covid-19 telah mengusulkan agar pilkada 2020 ditunda. Usulan penundaan pilkada tersebut, kata dia, agar penyelenggara pemilu memiliki waktu lebih panjang dalam mempersiapkan pelaksanaan pesta demokrasi itu.

“Bukan dengan keyakinan Covid-19 sudah selesai, kita juga tidak tahu Covid-19 kapan selesai, vaksin juga belum ketemu. Cuma setidaknya kalau kita mempunyai waktu lebih panjang persiapannya juga cukup,” katanya.

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengharapkan sanksi tegas dan konkret bagi pelanggar protokol kesehatan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020.

Penyebabnya, ada problematika di Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 6, karena tidak mengatur jenis sanksi administrasi.

“Kalau tidak ada jenis sanksi administrasi ini bertentangan dengan asas legalitas dengan pengenaan sanksi karena kita tidak bisa menghukum seseorang tanpa ada peraturan yang mengatur sebelumnya,” kata anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo.

Menurut Ratna, hal itu mungkin perlu dilakukan perbaikan agar sanksi tegas terhadap pelanggaran protokol kesehatan yang diatur PKPU nomor 6 2020.

“Ini lebih konkret kan, misalnya sanksi administrasi ke dalam undang-undang pemilihan kan tegas pembatalan sebagai calon, misalnya pelanggaran terhadap politik uang yang terstruktur sistematis dan masif sanksinya jelas pembatalan,” ujarnya.

Khusus untuk pelanggaran protokol kesehatan dalam pilkada lanjut dia sanksinya memang belum diatur secara tegas oleh KPU. “Saya kira ini perlu diatur secara tegas,” katanya.

Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah yang meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota pada 9 Desember 2020. (ant)