Catatan: Gan Pradana

PDIP akhirnya menyusul Partai NasDem, Hanura dan Golkar mencalonkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta untuk periode 2017-2022.  Ahok praktis tak punya lawan tangguh.

Keputusan PDIP itu, Selasa (20 September) malam tadi, disampaikan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Ahok tetap disandingkan dengan Djarot Saiful Hidayat yang selama ini menjadi wakil gubernur DKI Jakarta.

Apa mau dikata, Neno Warisman dan kawan-kawan terpaksa harus kecewa sebab perjuangannya “merelokasi”  Tri Rismaharini dari Surabaya ke Jakarta pupus di detik-detik terakhir.

Koalisi Kekeluargaan yang digagas kader PDIP Bambang DH untuk menumbangkan Ahok pun semakin berantakan, karena anggotanya berjalan sendiri-sendiri. Partai Amanat Nasional (PAN) yang sebelumnya berbunga-bunga di koalisi itu malah mengusung Rizal Ramli, bekas menteri yang gagal menjalankan perintah Jokowi memperpendek proses bongkar muat di pelabuhan.

Partai yang masih konsisten di koalisi itu sementara ini hanya Gerindra dan PKS yang sampai saat ini mengibarkan Sandiaga Uno sebagai cagub, sedangkan PPP dan PKB nggak rela kalau calon wakil gubernurnya dari PKS, sementara PKS nafsu banget kadernya bisa dimajukan sebagai cawagub. Maklumlah, PKS merasa pernah hebat di Jakarta sepuluh tahun lalu.

Emak-emak berbaju pink yang tempo hari berdemonstrasi di Balai Kota dan memberikan hadiah bungkus “jeroan” perempuan kepada Ahok pun harus menelan ludah, sebab aksi mereka tak membawa efek apa-apa. Harapan mereka PDIP bakal mengajukan cagub alternatif untuk melengserkan Ahok malah menjadi anti klimaks. Tragis.

Keputusan PDIP mengusung Ahok-Djarot sangat mungkin dilatarbelakangi ulah para elite politik yang  belakangan semakin membabi buta menjadikan isu SARA sebagai senjata pamungkas untuk mengeliminasi Ahok. Ini jelas sangat berbahaya tidak saja bagi demokrasi, tapi juga NKRI.

PDIP dan tiga partai pendahulu (NasDem, Hanura dan Golkar) pastinya tidak ingin ke depan Jakarta dikuasai atau dipimpin gubernur yang dikelilingi orang-orang panik yang hanya memperalat atau menunggangi agama untuk meraih kekuasaan. Empat partai nasionalis ini tentu tidak rela jika gubernur yang menang berkat SARA berutang budi kepada mereka yang menyalahgunakan agama.

Tanda-tanda ke sana sangat kentara. Tema “Ahok China, Ahok kafir” selalu diusung oleh mereka yang tidak menginginkan Ahok maju lagi sebagai gubernur. Sampai-sampai mahasiswa “kepo” dari dua perguruan tinggi negeri pun ikut-ikutan menebar kebencian kepada Ahok dengan mengumbar ayat-ayat suci.

Puncaknya adalah ulah Amien Rais yang menjadikan rumah ibadah sebagai sarana untuk berpolitik praktis. Ia rela datang ke Jakarta dari Yogyakarta hanya untuk menyebarluaskan virus SARA guna meyakinkan publik bahwa Ahok haram untuk dipilih. Dalam soal beginian bagi Amien adalah nomor satu. Soal apa program kerja dan siapa calon gubernur yang akan diusung baginya nggak penting-penting amat, padahal PAN sudah menggadang-gadang Rizal Ramli.

Selain menyerukan jangan memilih Ahok, Amien juga mengungkapkan kata-kata yang tak pantas diucapkan, seperti menyebut Ahok sebagai “sontoloyo” dan “dewa ingusan.”

Karena Ahok telah disokong PDIP, maka kita perkirakan Mbah Amien dalam hari-hari ke depan hingga masa kampanye akan sering ke Jakarta dan menyenandungkan “lagu”  berbau SARA. Hanya inilah modal Amien dan para pendukungnya, termasuk haters Ahok.

Jakarta adalah barometer Indonesia. Jika senjata SARA terus digunakan dan katakanlah kaum penyalahguna agama menang, ini jelas akan membahayakan NKRI. Ray Rangkuti, koordinator Lingkar Madani  dalam sebuah diskusi pekan lalu mengatakan, fenomena seperti itu pasti akan menjalar ke daerah-daerah lain. Jika sudah seperti itu, “lalu buat apa demokrasi? Kalau dalam pilkada kita  diwajibkan harus memilih pemimpin yang seagama dengan kita, lantas apa gunanya demokrasi?” katanya.

Jika PDIP tidak merapat ke NasDem, Hanura dan Golkar untuk mendukung Ahok, risikonya sangat besar. Apa kata dunia jika PDIP yang nasionalis ikut-ikutan bergabung ke kelompok yang menjadikan SARA sebagai senjata untuk merebut kekuasaan?

Ulah Amien Rais rupanya menyadarkan PDIP untuk mengikuti jalan lurus yang lebih dulu ditempuh NasDem, Hanura dan menyusul Golkar: mendukung Ahok. Apa yang dilakukan Amien Rais ibarat senjata makan tuan.

Apa yang dilakukan Amien Rais menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi generasi muda. Paling tidak anak-anak muda bisa merenung dan membulatkan tekad: “Semoga kelak kalau aku sudah tua, aku tidak ingin seperti Amien Rais.”

Jika semua untuk Ahok-Djarot, lantas  bagaimana nasib dan peluang Sandiaga? Tenang, Bung. Sabar ya para ibu. Lelaki muda tampan idola emak-emak berbaju pink ini pasti akan menang. Apalagi jika Partai Gerindra mendapat “hidayah”, lalu mengganti ideologi nasionalisme kebangsaannya dengan ideologi yang digembar-gemborkan Amien Rais. Beres. Gitu saja kok repot. [gp]