PDIP

Kastara.ID. Jakarta – Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto berulang kali menyatakan adanya tekanan atau intervensi terhadap pendukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Tekanan itu menurutnya melalui instrumen hukum dan instrumen kekuasaan.

“Kalau yang dikatakan Hasto itu benar, berarti di negeri ini sudah tidak ada demokrasi. Sebab, dalam demokrasi hukum menjadi panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkap Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, M Jamiluddin Ritonga, kepada Kastara.ID, Senin (20/11) pagi.

Menurutnya, kalau instrumen hukum sudah digunakan untuk membungkam anak bangsa, berarti hukum sudah mati di negeri ini. Konsekuensinya, demokrasi juga dengan sendirinya tak berjalan di Indonesia.

“Begitu juga halnya bila instrumen kekuasaan digunakan, hal itu memperkuat matinya demokrasi di tanah air. Sebab, instrumen kekuasaan hanya digunakan di negara-negara otoriter,” tandas Jamil.

Nyatanya, lanjut Jamil, anak bangsa hingga saat ini tetap bebas berpendapat. Di media konvensional dan media sosial, silang pendapat terus bergema.

Menurutnya, hukum kadang kala memang belum berjalan sebagai mestinya. Hukum belum semuanya berpihak kepada pencari keadilan.

Namun kekurangan itu tidak dengan sendirinya mematikan demokrasi di tanah air. Demokrasi masih berjalan dengan baik, walaupun ada saja kerikil yang mengganjalnya.

“Karena itu, Hasto seyogyanya tidak terlalu cengeng bila ada tekanan atau intervensi. Sebab, tekanan atau intervensi memang kerap muncul dalam politik. Hal itu akan terjadi di internal dan eksternal partai,” lanjutnya.

Jamil meyakini Hasto tentu tahu hal itu. Bahkan tak menutup kemungkinan Hasto juga melakukan hal yang sama di internal partainya.

“Karena itu, Hasto tak perlu menggunakan tekanan atau intervensi itu dengan nyinyir di media. Hasto juga tak perlu mencari teman senasib dengan seolah sudah berkomunikasi ke kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskansar (Imin),” tambah pengamat yang juga mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.

Cara seperti itu mengindikasikan Hasto terkesan sosok yang lemah. Hal itu tak seharusnya ditunjukkan oleh petinggi partai yang berlebel perjuangan.

“Jadi, Hasto idealnya tegar dengan segala tekanan atau intervensi. Hasto harus belajar dengan Megawati Soekarnoputri yang tetap kuat meskipun berbagai badai menghantamnya. Sejarah telah membuktikan hal itu,” pungkas Jamil. (dwi)