Masa Depan

Oleh: Mohammad Sabri

POSTCRIPTUS yang menggetarkan. Akhir yang menggugat: masihkah Tuhan punya masa depan? Pesan itu seolah hadir untuk mengoyak ketertiban iman, “maybe God really is an idea of the past,” begitu pendakuan Karen Amstrong dalam bab terakhir bukunya The History of God. Buku yang lahir dari buah riset yang ketat dan genial: bagaimana manusia—sepanjang  tak kurang dari 4000 tahun—tanpa mengenal letih, mencoba “merumuskan” Tuhan.

Tuhan masa lalu adalah Tuhan yang memiliki peran decisive dalam denyut nadi sejarah manusia yang beku. Tiga pilar wiracarita soal Tuhan pun diluahkan dalam narasi-narasi besar (grand narrative): mitos, kitab suci, dan sains. Masing-masing punya argumen yang riuh. Tak ada mufakat. Saling debat. Di sana, ada seteru abadi yang menggenang. Satu-satunya yang secara nisbi bisa diterima tanpa jejak pertikaian: bahwa Tuhan ditemukan dalam aksara lalu diekspresikan dalam jagad tanda yang jamak.

Namun, haruskah ini berarti jika Tuhan akan tetap memainkan peran “masa lalu”-Nya untuk masa kini dan masa depan? Apakah “paham” tentang Tuhan masa lalu akan tetap bertahan dalam sebilah keyakinan dan tersimpan rapi dalam pualam dogma yang dingin? Adakah “rumusan” Tuhan masa silam akan selalu bersemayam di “langit” transenden, dan membiarkan semesta berlari di atas hukum-hukum kosmik yang teguh? Amstrong, lagi-lagi bersikukuh dengan temuannya, setelah dengan benderang menghamparkan zeit geist masa kini  yang suram: aneka kekerasan dan perang, kehancuran lingkungan, demoralisasi, dehumanisasi, aneka penyakit kronis yang tak tersembuhkan, penduduk yang kian eksplosif, kelaparan dan kekeringan, hingga agama—yang sejauh ini menjadi medan paling otoritatif mempercakapkan Tuhan—justeru jadi institusi yang memupuk pertikaian panjang. Dalam huru hara zaman seperti ini, masihkah paham tentang Tuhan bermakna dan bisa dipertahankan? Kesangsian, tiba-tiba menjadi segumpal kabut dalam jawaban Amstrong.

Tampaknya, iman, Tuhan, dan sejarah bukanlah sebilah arus sepihak, tapi pesona persilangan yang penuh kisah. Sejarah pun mewartakan bahwa Tuhan adalah episentrum: selalu saja ada detak yang rindu untuk menemu Tuhan di setiap napas zaman. “…ide manusia tentang Tuhan memiliki sejarah. (…) gagasan itu selalu punya arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang mengkostruknya di pelbagai penggalan waktu…” (Amstrong, 2011:21). Dan kita tahu, tafsir menjadi lalu lintas paham yang tak sedikit menerbitkan benturan. Mungkin sebab itu, acap kali kita menemukan ada selisih dan seteru dalam praktik bertuhan. Ada amuk dan perang yang gemuruh atas nama Tuhan. Sikap radikalisme buta, fanatisme akut, eksklusi beragama lalu menjelma “titik didih” di balik tindak pemusnahan kemanusiaan.

Gagasan tentang Tuhan di masa depan, musti keluar dari dinding simbol, jangkar citra dan simulakrum tanda. Ide tentang Tuhan masa depan, sebab itu, mengandaikan pentingnya sikap rendah hati, welas asih, intersubyektif, dan pos-dogmatik kaum beriman dalam setiap ikhtiar mengeja nama dan titah-Nya. Pada akhirnya, “Yang menyangka  ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam sejarah”begitu pendakuan Goenawan Mohamad dalam esai reflektifnya, Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai (2008). Itu sebab, selalu ada misterium yang mengitari-Nya. Jangan-jangan, Tuhan masa depan—seperti lamat-lamat diakui dalam tulisan Amstrong—adalah Tuhan yang “dialami” kaum mistikus? Tuhan yang membuka Diri dan Lapang. Itu sebab, jalan menemuinya membentang luas sebanyak detak irama jantung orang-orang yang merindui-Nya. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).