Oleh: Muhammad AS Hikam

Keputusan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), untuk menonaktifkan politisi beken Ruhut Sitompul dari jabatan juru bicara partai sejatinya tak terlalu mengejutkan. Bukan kali ini saja politisi vokal dan nyentrik itu disemprit oleh petinggi partainya sendiri karena omongannya yang sering dianggap berbeda dengan beleid partainya. Tapi bukan Ruhut kalau kemudian surut. Sebaliknya, anggota DPR RI yang satu ini malah moncer di media dan ranah publik karena terus menggeber pernyataan-pernyataannya yang bikin para kolega separtainya merasa pusing kepala.

Bagi saya, yang menarik untuk dicermati adalah fakta-fakta ini:
1) Keputusan SBY itu dikirimkan melalui pesan pendek kepada Ruhut. Ini tentu tak lazim karena masalah posisi jubir partai termasuk strategis kendati, menurut Ruhut, bukan jabatan struktural di dalam DPP.
2) Respon Ruhut yang seakan ‘menantang’ SBY, yang tertulis dalam cuitan di twitter “Apa Pak SBY berani pecat?”
3) Dasar penonaktifan Ruhut, menurut sms yang beredar itu adalah bahwa pernyataan-pernyataan Ruhut tidak mencerminkan posisi Partai Demokrat dan SBY selaku Ketum. Dan bahwa SBY sudah sering memperingatkan Ruhut tetapi tidak diindahkan.

Dari fakta-fakta tersebut, bisa ditafsirkan bahwa tindakan penonaktifan Ruhut merupakan sebuah dinamika internal PD yang memerlukan respon serius. Ini tentunya terkait dengan persoalan-persoalan strategis yang menurut PD memerlukan penyikapan yang solid dan tidak terpecah-pecah dari politisinya di DPR dan DPP. Ruhut yang menjabat jubir partai tampaknya dipandang sebagai titik lemah sehingga perlu ‘ditertibkan.’ Jadi bukan karena ada pihak-pihak yang memanas-manasi mantan Presiden RI ke-6 tersebut, namun lebih karena posisi Ruhut dan peran yang dimainkannya tidak klop. Alih-alih membuat PD makin solid dan moncer, terapi justru hanya digunakan sang jubir untuk memoncerkan diri dan kepentingan politik pribadinya. Keputusan yang dikirimkan lewat sms tersebut menunjukkan bagaimana suasana batin SBY dan urgensi memberikan sanksi terhadap Ruhut.

Reaksi Ruhut yang terkesan menantang itu juga bisa menjadi petunjuk bahwa keputusan penonaktifan tersebut di luar dugaan Ruhut. Sehingga bukan saja ia menduga ada persekongkolan untuk menjatuhkan dirinya, tetapi juga ia terkesan menganggap SBY kurang memahami situasi internal elit DPP sehingga membuat keputusan seperti itu. Ruhut tampaknya sangat yakin bahwa posisinya di lingkaran elit PD sangat solid karena kedekatannya dengan SBY. Keputusan tak terduga tersebut membuat Ruhut kehilangan ‘cool’-nya sehingga muncullah cuitan yang menantang tersebut.

Dari pertimbangan yang dipakai untuk memutuskan sanksi tersebut, tampak bahwa Ruhut telah lama dalam radar pengawasan dan pemantauan DPP. Sayangnya Ruhut sangat pede bahwa dirinya memiliki leverage politik yang kuat sehingga semakin ‘out of control’ dan di luar kebijakan serta garis partai. Bahkan secara personal SBY menganggap sikap Ruhut berada di luar garis sang Ketum.

Akankah Ruhut melakukan refleksi dan penyesalan, lalu kembali ke dalam mainstream elit PD, ataukah ia justru memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat posisi tawarnya vis-a-vis partainya? Ataukan Ruhut sudah punya ancang-ancang untuk berpindah perahu politik, kendati ia mengatakan PD adalah parpol terakhir baginya? Dalam politik tidak ada yang tak mungkin kecuali ketidakmungkinan itu sendiri, bukan? Kita ikuti saja lanjutan kisah ini… (*)