Ahok

Oleh: Mohammad AS Hikam

Kekhawatiran sementara pihak bahwa para pendukung mantan Gubermur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok, atau yang disebut dengan “Ahokers”, akan menjadi Golput yang mengurangi perolehan suara petahana, patut untuk dicermati. Hal ini merupakan salah satu implikasi dari terpilihnya KH. Ma’ruf Amin, Ketua MUI dan juga Rais Aam PBNU, sebagai cawapres petahana Presiden Jokowi pada 9 Agustus 2018 lalu.

Seperti diketahui, Ma’ruf Amin adalah sosok yang menjadi salah satu ikon dalam kasus pidana penghinaan agama yang menimpa Ahok pada 2017, yang bukan saja berujung pada vonis penjara 2 tahun kepada sang Gubernur, tetapi juga berkontribusi sangat signfikan terhadap kekalahan beliau dalam Pilkada 2017 melawan paslon Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres, bukan saja mengejutkan tetapi sekaligus juga menimbulkan kontroversi: apakah pilihan Jokowi, yang notabebene adalah sosok yang sangat dekat dengan Ahok, ini merupakan perubahan paradigmatik yang sangat mendalam? Bahkan bagi para Ahokers yang memiliki idealisme membangun demokrasi yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945, pilihan tersebut bisa dianggap sebagai semacam sebuah U-turn yang didorong oleh kepentingan pemenangan Pilpres 2019.

Itulah sebabnya ketika kemudian wacana akan golputnya para Ahokers itu muncul, hal tersebut segera mendapat respons yang bermacam-macam, mulai dari anggapan bahwa wacana tersebut hanya merupakan reaksi spontan akibat kekagetan dan keterkejutan sementara, sampai pada anggapan bahwa wacana tersebut akan memiliki resonansi elektoral berupa tergerusnya suara Jokowi dalam Pilpres yang akan datang.

Saya termasuk pengamat yang tidak menyepelekan dampak bukan saja terhadap elektoral tetapi juga proses konsolidasi demokrasi di negeri ini yang meminjam istilah Buya Syafii Maarif, masih dalam kondisi ‘terseok-seok.’ Benar bahwa ada kemungkinan keterkejutan para Ahokers ini hanya gejala sementara, namun apabila petahana tidak melakukan manajemen politik yang efektif, bisa menjadi semacam bola liar. Ia bisa saja menyebabkan golput para Ahokers tetapi juga perpindahan kepada paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Karenanya, dalam konteks pemenangan Pilpres dari petahana, pemetaan yang jelas terhadap simpul-simpul Ahokers sangat perlu dilakukan untuk mengetahui pengelompokan mereka. Demikian pula pendekatan yang ditujukan untuk mempertahankan dan jika perlu menarik kembali dukungan terhadap petahana.

Penting kiranya untuk melakukan upaya rekonsiliasi terhadap Ma’ruf Amin dengan Ahok sehingga pihak yang disebut terakhir itu dapat bekerja sama dalam mendukung Jokowi baik pada sebelum, selama, maupun setelah Pilpres. Kebersamaan antara kedua tokoh tersebut akan dilihat para pendukungnya sebagai pertanda telah terjadi kesalingpahaman atau kekompakan.

Golputers bukan hanya bisa muncul dari pendukung Ahok saja tetapi juga mereka yang mendukung Mahfud MD, yang menamakan diri sebagi Golongan Mahfud (Golfud). Kabarnya, suara mereka akan diberikan hanya dalam Pileg khususnya untuk PSI tetapi tidak ikut memilih dalam Capres. Baik Golput asal Ahokers maupun Golfud, bisa saja hanya fenomena sementara tetapi bisa juga akan menguat jelang Pilpres.

Walaupun suara mereka tidak besar namun tetap memiliki pengaruh dan perlu diperhitungkan. Apalagi jika Pemilu 2014 dijadikan sebagai benchmark, yakni selisih kemenangan Jokowi vs Prabowo yang hanya 6%. Walaupun dalam berbagai survei sampai saat ini elektabilitas Jokowi jauh meninggalkan Prabowo (10-20%), namun bisa saja terjadi perubahan selama beberapa bulan ke depan. (*)