STA Memorial Lecture

Kastara.ID, Jakarta – Akademi Jakarta bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta menggelar Sutan Takdir Alisjahbana (STA) Memorial Lecture (21/10). Kegiatan ini digelar secara live streaming melalui kanal YouTube Dewan Kesenian Jakarta.

STA Memorial Lecture adalah sebuah program yang diselenggarakan untuk selalu menghidupkan semangat dan cita-cita Sutan Takdir Alisjahbana. Tokoh yang dikenal dengan STA ini merupakan ketua pertama Akademi Jakarta yang memperlihatkan keterbukaan Indonesia sebagai bangsa adalah sebuah hal mutlak demi kemajuan. Seperti tercermin dengan sikapnya dalam polemik kebudayaan tahun 1935.

STA Memorial Lecture ini mengundang Prof. Dr. Musdah Muliah untuk menyampaikan pokok-pokok pemikirannya.

Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma mengatakan, STA lahir pada tahun 1908, artinya ketika polemik kebudayaan yang berlangsung dalam tiga tahap yakni Agustus-September 1935, Oktober 1935-April 1936, dan Juni 1939 pemikiran yang terus menantang sampai hari ini menyeruak dari kepala seorang muda berusia 27 tahun.

Meski masih muda, STA matang dalam keyakinan serta memiliki semangat tinggi melayani kritik yang datang dari tokoh-tokoh seperti Sanusi Pane, Purbacaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M Amir, dan Ki Hajar Dewantara.

Seno menjelaskan, catatan dari tahun 1935 itu ternyata masih berlaku di tahun 2021 karena Indonesia membutuhkan polemik yang sehat.

“Ini membuat Akademi Jakarta akan terus menyediakan forum STA Memorial Lecture agar suara yang kritis dan menggugah, tajam dan membangunkan, cerdas dan menyadarkan sesuai semangat STA, tidak pernah absen dalam perjalanan bangsa ke masa depan,” ungkapnya

Dalam kesempatan itu, aktivis sekaligus akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Musdah Mulia memaparkan pandangan tentang pentingnya Penguatan Literasi Agama, Mewujudkan Indonesia Maju.

Menurut Musdah, STA membuka pikirannya tentang dunia yang penuh keindahan yaitu Dunia Kebudayaan. STA, sambungnya, dengan cara memukau memperkenalkan tentang kebudayaan barat yang disebut dengan kebudayaan modern dengan tiga pilar utama yaitu, pengembangan ilmu pengetahuan, pengembangan teknologi dan penguatan ekonomi.

“Kemampuan berpikir kritis yang begitu kuat ditanamkan oleh STA menggugah kesadaran kemanusiaan saya untuk mempertanyakan secara kritis tentang banyak hal dalam kehidupan ini, tak terkecuali tentang kehidupan keagamaan,” ucapnya.

Menurutnya, Pew Research Center menempatkan Indonesia sebagai negara religius karena dalam survei tersebut mayoritas penduduknya menjawab agama sangatlah penting. Menarik bahwa survei tersebut juga mengaitkan kemajuan suatu negara dengan sikap keagamaan masyarakatnya.

“Negara dengan penduduk religius bisa lebih maju karena masyarakatnya diselimuti nilai-nilai spiritual. Sehingga, mereka potensial memiliki integritas moral, kondisi itu akan menginspirasi mereka melakukan kerja-kerja kebudayaan, membangun peradaban yang lebih maju,” tandasnya. (hop)