Oleh: Muhammad AS Hikam

Desas desus seputar pergantian pimpinan Badan Intelijen Negara (BIN) semestinya tak boleh terjadi, apalagi jika sampai berkepanjangan. BIN adalah salah satu lembaga negara yang sangat strategis dan bagian integral dari keamanan dan pertahanan negara. Fungsi dan peran intelijen bagi sebuah negara adalah seperti mata dan telinga yang memberikan deteksi dan peringatan dini berkaitan dengan ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan yang dihadapi, baik dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Lembaga intelijen bisa dikatakan bekerja 25 jam sehari dan 8 hari dalam seminggu, dengan tanggung jawab yang sangat besar tetapi apresiasi yang nyaris nol.

Karena itu sangatlah mengecewakan apabila posisi pimpinan BIN lantas hanya menjadi bahan spekulasi dan gosip politik mirip dengan yang biasanya marak di dunia entertainment dan selebriti seperti yang kita lihat, baca, dan dengarkan di media beberapa minggu terakhir ini. Barangkali dalam sejarah Republik selama 71 tahun ini, baru kali ini posisi pimpinan BIN menjadi bahan pergunjingan luas dan terbuka seakan-akan hal itu tidak punya dampak strategis apapun bagi keamanan nasional dan pertahanan negara kita.

Padahal, jika sas-sus ini tak segera diakhiri, maka banyak pihak yang dirugikan. Pimpinan BIN yang masih bekerja jelas dirugikan karena beliau tak akan bisa bekerja optimal dengan maraknya sas-sus tersebut. Pihak yang digosipkan sebagai calon juga dirugikan, karena dengan munculnya spekulasi tersebut tentu beliau juga menjadi sasaran spekulasi politik serta sorotan pihak-pihak yang memiliki kepentingan strategis, baik di dalam dan di luar negeri. Dan Pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, sebagai pengguna (user) utama dari BIN juga akan terkena limbah gosip tersebut, minimum akan ada pertanyaan apakah beliau menganggap serius lembaga telik sandi itu atau tidak?

Yang paling dirugikan oleh maraknya gosip ini adalah bangsa dan negara kita. Sebab konstelasi keamanan nasional dan pertahanan negara kita saat ini dan masa depan sangat volatile dan karenanya optimalisasi lembaga intelijen straregis adalah mutlak diperlukan. Pemerintah tak boleh membuka peluang sedikit pun bagi BIN menjadi bagian dari arena pertarungan politik dan harus menjaganya agar ia netral dari wacana dan praksis politik. Sedikit saja BIN masuk angin karena politisasi, seperti munculnya desas desus tentang pergantian pimpinan seperti sekarang ini, maka resikonya akan sangat besar terhadap keberadaan, citra, dan kinerjanya. Dan berarti kita mempertaruhkan keamanan nasional dan pertahanan negara!

Bukan rahasis lagi bahwa ada pihak-pihak yang masih belum tahu dan/atau pura-puta tak tahu bahwa BIN adalah sebuah lembaga yang keberadaannya dilindungi dan dijamin oleh Konstitusi dan kiprahnya diatur UU. Ada pihak-pihak yang tidak mau ‘move on’ dalam menyikapi BIN, sehingga menganggapnya masih sama dan sebangun dengan lembaga intelijen di masa lalu. Tentu saja masih ditambah lagi dengan adanya pihak-pihak yang gerah jika BIN mampu berfungsi dan berperan secara efektif sebagai komponen pelindung keamanan nasional dan pertahanan negara RI. Itu sebabnya adanya upaya-upaya melakukan pelemahan terhadap BIN merupakan kenyataan yang mesti diantisipasi dan dihadapi dengan tepat oleh Pemrintah dan komunitas intelijen sendiri.

Jika para awak media melakukan tugasnya terkesan memaksa atau mendesak-desak para elit baik di Istana maupun di DPR untuk menjawab seputar desas-desus tersebut, saya kira hal itu tak sepenuhnya kesalahan mereka. Sebab tak ada asap tanpa api. Munculnya desas-desus itu sangat kecil kemungkinan berasal dari kreasi media atau para wartawan. Saya lebih cenderung percaya bahwa para elit itulah yang paling mungkin menjadi sumber utama desas-desus itu. Karena itu percuma saja kalau ada pejabat yang bosan dan malah marah kepada wartawan yang bertanya bolak-balik soal gosip tersebut. Ibarat syair lagu: “Kau yang mulai, kau yang mengakhiri”, mendingan hentikan segera gosip tersebut. (*)