Oleh: Jaya Suprana

NAMA Arthur C. Clarke sebagai penulis fiksi sains mulai melejit sejak mahakarya “The Sentinel” diangkat ke layar lebar oleh Stanley Kubrik dengan judul “2001 Space Odyssey”, yang mendayagunakan mahakarya Richard Strauss “Also Sprach Zarasthustra” dan Johann Strauss “An der schoenen blauen Donau” sebagai musik ilustrasi adegan angkasa luar.

Meski yang diramal di dalam film “2001 Space Odyssey” sebenarnya meleset sebab belum terjadi pada kenyataan pada tahun 2001, namun film garapan Stanley Kubrik merupakan film fiksi ilmiah paling berpengaruh pada abad XX.

Sri Lanka

Sama halnya dengan sang rekan sesama penulis science fiction, Isaac Asimow, ternyata Arthur C. Clarke juga seorang manusia Renaisans serba bisa seperti Leonardo da Vinci. Putra terbaik kerajaan Britannia Raya ini mengabdikan diri sebagai operator radar angkatan bersenjata Inggris pada Perang Dunia II, kemudian sejak 1956 menetap di Sri Lanka sampai akhir hayatnya.

Demi lebih mengenal peradaban dan alam Sri Lanka, Angkatan Udara Sri Lanka secara khusus menyediakan sebuah helikopter. Dalam perjalanan menjelajah Sri Lanka, Clarke terkesan oleh sebuah bukit monolith di Sri Lanka yang kini disebut sebagai Sigiraya. Bukit beraura enigma ini menginspirasi Athur C. Clarke sebagai lokasi novel sci-fi The Fountains of Paradise.

Sigiriya 

Secara arkeologis, Sigiriya dianggap sebagai lokasi penting terkait Rahwana. Diduga bahwa Sigiriya adalah Alakamandava yang dibangun oleh sanak-keluarga Rahwana yaitu Raja Kubera. Menurut kitab Puskola Potha Ravana Watha, arsitek Sigiriya adalah Maya Danaya pada masa Cithranakuta. Setelah Rahwana wafat, adiknya Wibisana menjadi raja Alengka yang bertahta di Alakamandava sebelum memindahkan pusat kerajaan Alengka ke Kalaniya.

Enigma 

Manurut kronikel Culayamsa, menjelang akhir abad V, Raja Kashyapa mendirikan sebuah istana di atas bukit Alakadamdava berhias ratusan mahakarya fresko luar biasa indah tiada dua pada masa itu. Lukisan-lukisan fresko menampilkan keindahan sosok perempuan tersebut termasyhur dengan sebutan Seni Rupa Sigiriya yang gayanya masih dilestarikan dan dikembangkan sampai masa kini oleh para pelukis.

Pada petilasan kawasan Istana Sigiriya ditemukan puing-puing balairung, dinding cermin, taman, kolam, sistem irigasi serta sebuah landasan yang sampai kini masih belum diketahui apa fungsi sebenarnya. Meski ada yang menduga itu adalah landasan perahu terbang ciptaan Rahwana. Di pintu gerbang di kaki bukit ditemukan cakar singa ukuran raksasa yang sayang bagian tubuh dan kepalanya telah musnah ditelan zaman, menambah aura enigma pada Sigiriya.

Di dalam kisah sci-fi “The Fountains of Paradise” Arthur C Clarke menyebut Sigiriya sebagai Yagakala sebuah stasiun satelit bumi untuk berkomunikasi dengan antariksa.

Pada tahun 1982 Sigiriya ditetapkan UNESCO sebagai situs Warisan Kebudayaan Dunia yang juga diproklamirkan sebagai The Eight Wonder of The World.

Kemasan Legendaris

Sebenarnya Indonesia memiliki perbendaharan situs warisan kebudayaan tidak kalah spektakular ketimbang Sigiraya seperti misalnya Borobudur, Prambanan, Puri Besakih, Gunung Padang, Istana Pagaruyung, Masjid Agung Demak, Masjid Istiqal, dan lain sebagainya. Hanya saja Indonesia perlu lebih intensif menatalaksana promosi dengan kemasan legendaris terhadap warisan kebudayaan, sebagai daya tarik bagi para wisatawan mancanegara maupun domestik berduyun-duyung datang mengunjungi destinasi wisata budaya Nusantara nan tiada dua di planet bumi ini. (*)

* Penulis adalah pembelajar peradaban dan kebudayaan dunia