KKP

Kastara. ID, Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mendorong tumbuhnya green investment untuk pembangunan kelautan dan perikanan yang lebih berkelanjutan. Mengacu pada Perpres 16/2012 tentang Rencana Umum Penanaman Modal, disebutkan bahwa arah kebijakan penanaman modal salah satunya harus berwawasan lingkungan.

“Perikanan sebagai komoditas yang dapat diperbaharui merupakan salah satu potensi komoditas green investment,” ujar Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Artati Widiarti saat membuka webinar bertajuk ‘Menarik Minat Investasi Sektor Kelautan dan Perikanan dari Wilayah Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tenggara’ di Jakarta, Kamis (27/8).

Artati menambahkan, melalui fokus alur produksi terintegrasi hulu dan hilir, para pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan diimbau untuk memperhatikan pengelolaan sumberdayanya, menjaga keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem, serta menjaga fungsi pelestarian lingkungan. Dia pun memaparkan realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) sampai dengan triwulan 2-2020, di sektor kelautan dan perikanan didominasi 6 negara.

“5 di antaranya adalah dari benua Asia senilai Rp 987,15 miliar, yakni RRT, Singapura, Thailand, India, dan Jepang,” tutur Artati.

Dikatakannya, Singapura dan Thailand adalah dua negara di Asia Tenggara yang aktif melakukan investasi, terutama di bidang usaha pengolahan dan budidaya. Sedangkan khusus wilayah Eropa, Timur Tengah, dan Asia Tenggara, sampai dengan triwulan 2-2020 Realisasi Investasi sektor kelautan dan perikanan masing-masing mencapai Rp 1,38 miliar, Rp 300 juta, dan Rp 305,84 miliar. Pada periode 2016-2020, investor dari Eropa berasal dari Belanda, Belgia, Inggris, Italia, Jerman, Perancis, Siprus, dan Swiss. Mereka melakukan investasi di bidang usaha budidaya, pengolahan, perdagangan, dan jasa perikanan di Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTB, dan Sulawesi Tenggara.

“Dan pada periode yang sama, investor dari Timur Tengah (Iran dan Kuwait) melakukan investasi di bidang usaha budidaya di Jawa Barat,” urainya.

Sementara investor dari Asia Tenggara juga melakukan investasi di bidang usaha pengolahan dan budidaya, dengan lokasinya tersebar di 21 provinsi. Kemudian investasi dari Afrika (Liberia) dilakukan di bidang pengolahan di Sulawesi Utara pada tahun 2010 dan 2013, dengan nilai Rp 2,07 miliar.

Karenanya, Artati menilai adanya kantor promosi Indonesia atau Indonesia Investment Promotion Center (IIPC) di 8 wilayah kerja pun sangat membantu untuk mempromosikan investasi Indonesia ke para calon investor di luar negeri. Diapun mengajak agar kantor IIPC dioptimalkan untuk memfasilitasi kerja sama antara mitra investor dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

“Segera kita siapkan peluang investasi yang ready to offer kepada calon investor. Suatu proyek investasi harus memberikan paket informasi yang lengkap, konektivitas yang jelas serta keuntungan yang didapatkan oleh pihak investor,” katanya.

Peluang di Sektor Hulu Perikanan
Di forum yang sama, Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo mengungkapkan investasi yang sangat diperlukan saat ini ialah yang berkaitan dengan subsektor hulu. Menurutnya, subsektor ini yang akan mendukung peningkatan bahan baku di bidang perikanan budidaya dan tangkap.

Selain itu diperlukan juga investasi di bidang cold chain logistic, terutama untuk logistic delivery door to door. “Kemudian investasi di bidang pengolahan yang diharapkan dapat mengusung teknologi maju untuk memproduksi value added product (ready to cooked/ ready to eat),” jelas Budhi.

Senada, Direktur Indonesia Investment Promotion Center London, Inggris, Aditia Prasta mengurai bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi minat investasi langsung dari investor di wilayah Eropa, diantaranya potensi pertumbuhan pasar domestik, akses dengan pasar atau pelanggan, infrastruktur transportasi, regulasi atau iklim bisnis, klaster industri, ketersediaan tenaga kerja yang terampil dan faktor lainnya sekitar 10% yang cukup banyak mempengaruhi keputusan untuk berinvestasi.

Dia menyebut karakteristik calon investor di masing-masing wilayah kerja IIPC memang berbeda.

“Untuk calon investor dari wilayah Eropa dan Timur Tengah umumnya tidak berani mengambil resiko dalam berinvestasi, sehingga menyukai investasi yang sudah siap untuk dikembangkan lebih lanjut. Sebaliknya calon investor dari wilayah IIPC Singapura, umumnya berani mengambil resiko dan mau memulai dari awal proyek,” jelas Adit. (wepe)