Cemoohlogi

Oleh: Jaya Suprana

SEMULA saya meyakini naskah “Kata Cemooh Kesatwaan” (11 Oktober 2019) pasti memperoleh cemooh dari para pihak yang menganggap cemooh merupakan hak asasi manusia.

Setiap insan manusia berhak asasi menyemooh dengan kata apa pun termasuk kesatwaan berdasar pilihan dan selera diri masing-masing. Maka, dapat dimengerti bahwa para pengguna cemooh tidak suka apabila hak asasi menyemooh dipermasalahkan.

Keliru
Namun ternyata saya keliru. Naskah “Kata Cemooh Kesatwaan” secara menyeluruh memperoleh tanggapan positif. Misalnya, menantu mahasastrawan Sutan Takdir Alisyahbana merangkap mahaguru saya tentang gerakan mahasiswa turun ke jalan yang telah menggulingkan dua presiden, Haryono Kartohadiprojo bijak menyampaikan pesan singkat sebagai berikut: “Merupakan pengetahuan bagi yang benci atau mengharamkan binatang-binatang tersebut. Terima kasih atas pencerahannya.“

Sementara sahabat sepaham dalam humorologi merangkap mahaguru kebudayaan Jawa saya, Darminto Odios Sudarmo, secara khusus menyampaikan komentar panjang sebagai berikut: “Lengkap sudah istilah pisuhan yang berisi sato kewan. Dengan bahasa yang gemericik kolom ini juga sering membuat pembaca tersenyum simpul. Apalagi kalau ada orang Eskimo bilang ke saya “Anjing lo!”, maka saya akan tertawa-tawa gembira. Walaupun di etnis tertentu di Indonesia masih banyak sekali anggota badan: dengkul, kepala, alat vital, bahkan dapur aja bisa jadi pisuhan yang telak. Andai ada antropolog bidang cacian mungkin bisa dikumpulkan ribuan kata. Kita memang lebih mahir mencaci daripada memuji.”

Cemoohlogi
Mas Odios bijak dalam memengaruhi saya agar mendalami cemoohologi lebih lanjut terhadap apa yang disebut sebagai cemooh, atau khususnya pisuhan di khasanah kebudayaan Jawa.

Ternyata memang banyak kata cemooh berdasar bagian dari tubuh manusia seperti misalnya “Matamu!”, “Utekmu!”, “N’dasmu!”, “Dengkulmu!”, “Raimu!”“Udelmu”, “Bokongmu!” dan lain sebagainya, sampai yang terlalu tidak senonoh untuk ditulis di sini. Bahkan cemooh sengaja direkayasa makin keji melukai perasaan dengan secara cemoohologis nama bagian tubuh dilengkapi embel-embel predikat serba tidak senonoh seperti misalnya “N’dasmu peang!”, “Utekmu jebluk!”, “Matamu picek!”, “Wetengmu jembli”, “Lambemu ndombhle !”, “Cangkemmu jeplak !”, “Dengkulmu bonyok !”, “Kupingmu budeg !”, Kabhotan Bokong ! atau “Sak’enak udelmu dhewe !”.

Demi tidak menuai cemooh, maka lebih baik pembahasan cemoohologis tentang cemooh dalam bahasa Jawa berhenti sampai di sini saja. Sekaligus juga agar jangan sampai saya malah membenarkan anggapan mas Odios bahwa “kita memang lebih mahir mencaci daripada memuji “. (*)

* Penulis adalah pembelajar cemoohologi