Novel Baswedan KPK

Oleh: Tanius Sebastian

LEBIH dari 100 hari telah berlalu sejak penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, disiram air keras. Aparat negara dan pemerintah diminta untuk bertindak tegas membongkar konspirasi jahat di baliknya, sembari kita diajak bersolidaritas supaya makin berani melawan koruptor. Tapi apa sebenarnya kaitan logis antara kedua hal tersebut? Untuk menjawabnya dibutuhkan bangunan argumentasi etis dalam cara berpikir tentang hukum dan pemberantasan korupsi. Apa justifikasi bagi komitmen dan upaya penegakan hukum dalam kasus Novel? Apa yang dapat mendorong keseriusan mengurus kasus Novel? Di situlah terletak peran moralitas dalam penegakan hukum untuk melindungi hak warga negara.

Peristiwa penyiraman air keras ke wajah Novel menjadi topik diskusi hangat di masyarakat kita. Tak ketinggalan, para akademisi hukum bersuara. Dari perspektif ketatanegaraan, dinyatakan bahwa penyiraman tersebut adalah serangan untuk melemahkan KPK sebagai institusi. Maka, diajukan solusi berupa penguatan status, yakni pelegitimasian institusi KPK melalui serta berdasarkan konstitusi tertulis (UUD 1945) dan imunitas jabatan pengurus KPK dari kriminalisasi. Perspektif akademis yang lain menyatakan perlunya perlindungan keamanan fisik aparat penegak hukum dari teror dan ancaman. Mekanisme dan keabsahan legal untuk perlindungan tersebut dapat diadopsi dari sejumlah instrumen hukum internasional. Adapun, solusi pengimplementasiannya adalah dengan membentuk lembaga baru dengan wewenang khusus, atau membentuk ulang lembaga-lembaga yang sudah ada.

Evaluasi Moral dalam Hukum

Dari pernyataan pejabat resmi sampai akademisi hukum di atas, tampak bukan hanya suatu tuntutan supaya pelaku penyiraman air keras terhadap Novel diadili, tapi juga sebuah penegasan atas komitmen pemberantasan korupsi. Namun sesungguhnya lebih dari itu, setiap peristiwa mengandung nilai dan mengundang evaluasi moral. Dalam kasus Novel, terdapat sebuah refleksi tentang arti nilai hukum. Untuk itu, kita perlu melakukan pemilahan beberapa variabel problematika filsafat hukum dalam peristiwa yang menimpa Novel, lantas mengidentifikasi prinsip moral yang terkandung dalam hukum pemberantasan korupsi di tanah air.

Variabel pertama adalah peristiwa yang dialami oleh Novel sendiri, wajahnya disiram air keras ketika pulang dari sholat subuh. Variabel kedua adalah KPK sebagai institusi politis yang bekerja memberantas korupsi dan menegakkan hukum, dalam koridor aturan perundang-undangan. Ini disebut sebagai variabel praktik institusional. Variabel ketiga adalah cita-cita hukum dalam pemberantasan korupsi, sebagaimana terwujud dalam rangkaian hak, tugas, dan tanggung jawab setiap warga negara untuk mencapai tujuan hidup dalam negara Indonesia, yakni kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Kita bisa menyebutnya variabel tujuan hukum. Variabel pertama merupakan variabel fakta non-legal, sedangkan variabel kedua dan ketiga menampilkan fakta yang legal.

Untuk melihat keterkaitan di antara tiga variabel di atas, kita perlu memakai kacamata teoretis. Pemikir raksasa di bidang hukum, Ronald Dworkin (1931-2013), telah menginspirasi sebuah cara berpikir yang melihat hukum sebagai suatu konsep interpretatif. Seorang pengikut mendiang Profesor Dworkin, Nicos Stavropoulos, yang kini dosen di Fakultas Hukum Oxford, telah membantu menjelaskan makna praktis dari paham interpretasi hukum. Dilihat secara interpretatif, variabel fakta non-legal dan fakta-fakta legal di atas terkait satu sama lain karena adanya suatu prinsip moral. Dalam konteks pemberantasan korupsi di negara ini, prinsip moral yang dimaksud mengekspresikan fakta moral (adanya variabel tujuan hukum) yang menjustifikasi fakta-fakta legal (adanya variabel praktik institusional dari KPK dan variabel tujuan hukum).

Dalam konteks tradisi hukum nasional, fakta moral seperti itu telah dideklarasikan melalui prinsip Negara Hukum. Dengan peran sebagai prinsip moral, prinsip Negara Hukum merupakan hasil penalaran (reasoning) bangsa kita tentang adab. Dalam perjalanan dinamika sosial-politik, kita pun memetik buah penalaran seperti itu melalui momentum Reformasi 1998. Teori interpretatif mengajarkan bahwa cita-cita mengenyam prinsip Negara Hukum menciptakan suatu daya normatif, yaitu penghormatan hak dan tanggung jawab dalam praktik institusional pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum. Negara Hukum bukanlah sekadar berarti negara yang memiliki setumpuk aturan hukum dan lantas menegakkannya melalui proses yang dikerjakan aparat-aparat negara. Melalui gagasan ini pula terbersit pesan bagi para ahli, yakni supaya jangan menganggap ide moral dalam hukum sebagai norma yang kebenarannya nomor dua atau sebagai imperatif belaka, dibanding kecanggihan amatan-amatan analitis lain tentang institusi hukum dan pemberantasan korupsi di tanah air.

Penyiraman air keras terhadap Novel merupakan penghinaan terhadap prinsip moral dalam hukum. Sebaliknya, respon terhadap kasus Novel adalah bentuk-bentuk menyeriusi prinsip tersebut. Demikianlah argumentasi etis untuk mendorong pemerintah dan menguatkan KPK. Indonesia bukanlah Negara Mafia yang di dalamnya boleh seenaknya berlangsung teror dan kekerasan bagi warga negara yang bertugas mewujudkan dan yang berhak atas tujuan hukum. Apabila pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla soal adanya pihak penyuruh dalam kasus Novel adalah benar, argumentasi Negara Mafia itulah yang sedang diartikulasikan untuk mempermainkan keadaban prinsip Negara Hukum. Maka, upaya-upaya dari sudut tata negara oleh para ahli konstitusi, atau sudut pidana oleh petugas kepolisian, atau sudut solidaritas politis oleh para aktivis publik adalah upaya yang ditantang untuk menyeriusi prinsip moral dalam hukum. (*)

*Penulis adalah Dosen Filsafat Hukum FH Universitas Katolik Parahyangan
**Tulisan ini sudah dimuat di laman resmi Komisi Pemberantasan Korupsi