BPK

Kastara.ID. Jakarta – Pemerintah Provinsi  (Pemprov) DKI Jakarta kembali meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran (TA) 2021.

Pencapaian opini WTP tersebut berhasil dipertahankan Pemprov DKI Jakarta selama lima tahun berturut-turut.

Kepala Perwakilan BPK DKI Jakarta, Dede Sukarjo memberikan selamat dan apresiasi kepada pimpinan dan seluruh jajaran Pemprov DKI Jakarta yang telah berhasil mempertahankan opini WTP.

“Prestasi tahunan ini diharapkan menjadi momentum untuk terus berinovasi meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah Pemprov DKI,” ujarnya dalam Rapat Paripurna Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemprov DKI tahun 2021 (31/5).

Dede menjelaskan, ada beberapa permasalahan yang harus mendapat perhatian Pemprov DKI Jakarta agar tidak terulang di masa mendatang dan dalam rangka mendorong peningkatan kualitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Pihaknya menekankan pentingnya peningkatan monitoring sekaligus pengendalian atas pengelolaan rekening kas pada organisasi perangkat daerah dan Bank DKI. Sehingga tidak terjadi permasalahan penggunaan rekening kas dan rekening penampungan (escrow) yang tidak memiliki dasar hukum dan tanpa melalui persetujuan BPKD sebagai BUD.

“Sehubungan dengan permasalahan tersebut BPK merekomendasikan agar sisa dana yang ada pada rekening (escrow) segera dipindahbukukan ke rekening kas daerah sesuai batas waktu yang ditetapkan,” katanya.

Ia melanjutkan, pada sisi pendapatan, BPK menemukan kelemahan proses pendataan, penetapan dan pemungutan pajak daerah pada Pemprov DKI yang mengakibatkan kekurangan pendapatan pajak daerah. Di antaranya terdapat 303 Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang telah selesai melakukan balik nama sertifikat kepemilikan tanah atau bangunan namun BPHTB-nya kurang ditetapkan sebesar Rp 141,63 miliar.

“Hal tersebut terjadi karena pengesahan atau validasi bukti pembayaran BPHTB dilakukan sebelum proses verifikasi dan validasi perhitungan ketetapan BPHTB,” terangnya.

Sementara pada sisi belanja, BPK juga menemukan beberapa permasalahn di antaranya kelebihan pembayaran gaji/TKD/TPP, kekurangan pemungutan dan penyetoran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, kelebihan pembayaran belanja barang dan jasa dan kelebihan pembayaran atas pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak.

Dalam pengelolaan aset, BPK juga menemukan kekurangan pemenuhan kewajiban Koefisien Lantai Bangunan (KLB), pencatatan aset tetap ganda atau aset tetap belum ditetapkan statusnya serta adanya 3.110 bidang tanah yang belum bersertifikat dan pemanfaatan aset tetap dari pihak ketiga tidak didukung dengan perjanjian kerja sama.

Dede menyampaikan, dalam proses penyusunan laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan, BPK telah meminta tanggapan kepada para pejabat terkait dan meminta rencana aksi (action plan).

Hal ini penting untuk memastikan komitmen para pejabat terkait dalam menyelesaikan seluruh tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK secara tepat waktu.

Selain itu untuk memenuhi Pasal 20 UU Nomor 19 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Keuangan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang mewajibkan pejabat memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan BPK selambat-lambatnya 60 hari setelah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) diterima.

Menurut Dede, pemeriksaan keuangan atas laporan pemerintah daerah bertujuan untuk memberikan opini kewajaran laporan keuangan. Opini merupakan pemeriksaan mengenai kewajaran informasi dalam hal laporan keuangan pemeriksa keuangan tidak dimaksudkan untuk mengungkap adanya kecurangan atau dalam pengelolaan keuangan.

“Pemeriksaan atas laporan keuangan juga menilai desain dan implementasi sistem pengendalian dalam pengelolaan keuangan dan proses penyusunan laporan keuangan,” tandasnya. (hop)