PDIP

Kastara.ID, Jakarta – Setelah BEM UI menjuluki Presiden Joko Widodo (Jokowi) The King of Lip Service, lalu muncul tudingan tak sedap kepada Ketua BEM UI Leon Arvinda Putra.

Ketua BEM UI dituding asuhan Cikeas dan pendukung Front Pembela Islam (FPI). Bahkan Leon sebagai anggota HMI yang berafiliasi ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga pun menyayangkan seperti yang disampaikannya kepad Kastara.ID di Jakarta, Kamis (1/7) petang.

“Tudingan tersebut tampaknya sengaja disampaikan secara vulgar untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang diperdebatkan ke sifat atau reputasi dan kredibilitas pribadi Leon. Para penuding tidak menjawab substansi kenapa muncul julukan The King of Lip Service, tapi mereka lebih fokus merusak reputasi dan kredibilitas Leon,” ungkap Pria yang kerap disapa Jamil ini.

Tujuan mereka jelas, dengan rusaknya reputasi dan kredibilitasnya, publik diharapkan tidak mempercayai Leon dan BEM UI yang dipimpinnya. Publik diharapkan menjadi antipati dan berbalik menyerang Leon dan BEM UI.

“Upaya pembunuhan karakter (character Assassination) semacam itu memang kerap terjadi di Indonesia. Diskursus menjadi tidak berkembang karena pihak-pihak yang berwacana lebih fokus menyerang orangnya daripada apa yang diwacanakan,” timpal mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta ini.

Akibatnya, bukan solusi yang dihasilkan dari sebuah wacana. Wacana justeru berkembang pada bertebarannya stigma-stigma negatif yang ditujukan kepada pihak-pihak yang berwacana.

“Celakanya, pada kasus BEM UI, para pemberi stigma negatif itu datang dari orang-orang terdidik dan bahkan ada yang sudah dedengkot di dunia politik. Mereka tega memberi stigma negatif kepada para mahasiswa yang memang masih belajar berwacana,” jelas Jamil.

Mereka justeru memberi contoh tidak baik kepada juniornya dalam berwacana. Anehnya mereka justeru terkesan bangga melakukan hal itu.

“Kalau para mahasiswa terus diajarkan berwacana dengan membunuh karakter seseorang, maka mereka dikhawatirkan akan melakukan hal yang sama di kemudian hari. Kalau ini yang terjadi, tentu berbahaya bagi perkembangan komunikasi politik di tanah air,” imbuh pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini.

Akibatnya, wacana tidak akan pernah produktif. Setiap wacana akan selalu diiringan pembunuhan karakter, yang dapat melahirkan dendam. Tentu ini tidak sehat untuk komunikasi politik di negeri tercinta. (dwi)