London

Kastara.ID, Jakarta – Pertarungan politik di Jawa Timur menjadi alasan kuat poros politik mengambil bakal calon wakil presiden (cawapres) berlatar Nahdlatul Ulama (NU). Muhaimin Iskandar (Cak Imin) merupakan paket lengkap, karena berlatar Jawa Timur, NU, dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang basis massanya berasal dari NU.

“Fakta politiknya elektabilitas (keterpilihan) dan popularitas Cak Imin termasuk yang tinggi di Jawa Timur. Jelas lebih tinggi dari Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Itu alasan masuk akal Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh lebih memilih Cak Imin daripada AHY,” ungkap analis politik Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting di Jakarta, Jumat (1/9).

Menurut Selamat Ginting, Cak Imin menjadi paket lengkap koalisi partai, karena memegang kendali terhadap PKB dan dapat menambah prosentase untuk memenuhi ambang batas mengikuti pemilihan presiden. Mengingat kelemahan Koalisi Perubahan berada di suara pemilih Jawa Timur, khususnya kalangan Nahdliyin.

“Itulah poin penting Cak Imin dibandingkan dengan tokoh NU lainnya, seperti Gubernur Jawa Timur Khofifah, Menko Polhukam Mahfud MD, maupun putri dari mantan Presiden Abdurachman Wahuid, Yeni Wahid,” ujar Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.

Dikemukakan Ginting, geopolitik pemilu sekitar 60-65 persen masih berada di Pulau Jawa. Untuk Jawa Tengah kemungkinan besar masih akan dikuasai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengusung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Untuk Jawa Barat, Anies bersaing ketat dengan bakal capres Prabowo Subianto. Namun diperkirakan Anies akan lebih unggul daripada Prabowo.

“Jadi Koalisi Perubahan ingin mendapatkan suara kaum Nahdliyin di Jawa Timur. Pintu masuknya melalui Cak Imin yang punya basis konstituen NU dan kultur Jawa Timur-an. Sehingga Koalisi Perubahan dapat mendapatkan ceruk suara di wilayah ini,” ujar Ginting.

Menurut Ginting, tak bisa dimungkiri dalam pemilu 2024 ada tiga King/Queen Maker (seorang yang dapat menjadikan orang lain sebagai pemimpin) dalam pilpres, yakni Megawati Sukarnoputri di Poros Ganjar Pranowo, Jokowi di Poros Prabowo Subianto, dan Surya Paloh di Poros Anies Baswedan. Koalisi Perubahan terdiri dari Nasdem, Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengusung Anies Baswedan.

“Sebagai king maker dari Koalisi Perubahan, Surya Paloh membutuhkan tambahan koalisi partai untuk mengantisipasi apabila salah satu partai koalisinya mengundurkan diri,” ungkap Ginting.

Menurutnya, keinginan Demokrat untuk terus mendesak AHY sebagai bakal cawapres di koalisi tersebut, memaksa Surya Paloh membuat strategi baru, merangkul PKB. Konsekuensinya tentu saja Cak Imin yang akan menjadi bakal cawapresnya.

Jadi, kata Ginting, mazhab Demokrat dan PKB sesungguhnya sama saja, yakni menginginkan AHY dan Cak Imin sebagai cawapres di manapun koalisinya. Mereka tidak peduli koalisinya, yang penting mendapatkan posisi sebagai calon RI-2.

“Demokrat secara eksplisit menginginkan bakal cawapres koalisi itu adalah AHY. Sementara Nasdem lebih menginginkan bakal cawapres dari unsur NU. Manuver politik mendapatkan Cak Imin sekaligus menegaskan bagi Nasdem, NU jauh lebih penting daripada Demokrat untuk menghadapi pilpres 2024,” ungkap Ginting.

Kini, lanjut Ginting, dengan kehadiran PKB dan Cak Imin menjadi bakal cawapres, maka Demokrat tidak lagi bisa mengunci Koalisi Perubahan. Bahkan posisi tawar Demokrat justru yang terkunci, karena posisi tawarnya menjadi lemah. Kini publik menunggu apakah Demokrat akan tetap di Koalisi Perubahan atau akan hengkang dan bergabung ke koalisi lain.

“Sedangkan bagi PKS, mereka akan tetap berada di koalisi bersama bakal capres Anies Baswedan. Konstituen PKS itu hatinya berlabuh ke Anies. Jadi tidak begitu masalah siapa yang akan menjadi bakal cawapresnya,” pungkas Ginting. (lan)