Oleh: Muhammad AS Hikam

Setelah sukses dengan “blusukan” sebagai pendekatan komunikasi publik dengan target masyarakat di lapis bawah, Presiden Jokowi kini menggunakannya untuk target lapisan atas alias elite. Blusukan “ke atas” (istilah yang kedengaran rada nyeleneh) ini berbeda tujuannya. Jika blusukan biasanya lebih digunakan untuk manajemen pengawasan baik bagi aparat maupun pelaksanaan program di lapangan, maka yang ke atas ini digunakan untuk komunikasi politik dengan tujuan meyakinkan dan mengubah perilaku elite agar sesuai dengan yang diinginkan.

Model blusukan ‘ke atas’ ini kental dengan warna etiket Jawa yang disebut “nylondohi” alias sikap mau merendah atau humble berhadapan dengan target. Blusukan ke atas adalah alat komunikasi publik dalam bentuk persuasi aktif, telaten, dan konsisten sehingga elite bisa menerima pengaruh tanpa merasa dipengaruhi, atau seperti sebuah kesukarelaan.

Jika blusukan ke bawah sudah kondang sebagai kosa kata dalam wacana kepemimpinan dan politik di negeri ini, maka blusukan ke atas masih belum, dan mungkin perlu dicari istilah yang lebih pas. Hemat saya, Presiden Jokowi sudah beberapa kali menggunakan pendekatan yang terakhir ini dalam menyelesaikan persoalan yang berpotensi konflik antarelite yang bisa berdampak luas ke bawah. Presiden Jokowi menggunakannya saat menghadapi pressure dari elite partai pendukungnya, PDIP, khususnya Ketum DPP dan mantan Presiden RI ke-5, Megawati Sukarnoputri. Juga ketika menghadapi Wapres Jusuf Kalla, yang dengan senioritas dan pengalaman politik serta jejaring konglomerasinya pada tataran nasional dan global, dianggap memiliki kans mendominasi pengaruh di Istana.

Dalam menghadapi kedua ‘super power’ dalam perpolitikan Indonesia tersebut, Presiden Jokowi selalu berinisiatif sebagai pihak yang menjemput bola, berinisiatif hadir, dan berkunjung kendati telah menjadi RI-1. Presiden Jokowi tampil tanpa beban, andhap asor, “nylondohi”, dan tak berpretensi sebagai orang nomor wahid. Dengan gaya bicara yang bersahaja dan suara rendah, Presiden Jokowi membuat lawannya “underestimate” terhadap dirinya dan menganggapnya mudah dipengaruhi dan diubah. Namun mereka harus menelan pil pahit ketika Presiden Jokowi ternyata tegar dalam keputusannya, kendati bukan berarti beliau tak membuka pintu kompromi. Pendekatan blusukan ‘ke atas’ ini mulai menampakkan hasil positif berupa soliditas dalam Kabinet Presiden Jokowi.

Pendekatan blusukan jenis itu pula yang kemarin (31/10) digelar Presiden Jokowi di Hambalang saat bertemu dengan bos Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Siapapun tahu belaka bahwa mantan Pangkostrad itu adalah ‘super power’ di luar Istana, yang pengaruhnya tak kalah dengan kedua “super power” yang disebut terdahulu itu. Dalam konteks dinamika politik di DKI yang memanas akhir-akhir ini posisi Prabowo Subianto bisa jadi malah melebihi ‘super power’ yang tinggal di Cikeas, Pak SBY. Fakta menunjukkan bahwa mantan Danjen Kopassus tersebut memiliki kedekatan dengan ormas-ormas Islam dan tokoh-tokoh Islam dari berbagai aliran. Blusukan ke Hambalang, dalam rangka mendapat dukungan untuk meredakan suhu politik yang memanas di ibukota, adalah langkah strategis yang diambil oleh Presiden Jokowi.

Dan lagi-lagi Presiden Jokowi menampilkan diri sebagai pihak yang menjemput bola; pihak yang memerlukan masukan dari Prabowo Subianto, tokoh yang senioritas dan pengalaman dalam urusan politik dan strategi militernya tak terbantahkan. Bahasa tubuh dan statemen Presiden Jokowi saat pertemuan di Hambalang sama sekali tidak menunjukkan sebagai Kepala Negara yang protokoler formal, apalagi bossy. Beliau adalah tamu yang “sejajar” dengan tuan rumah. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa kecuali almarhum Gus Dur, Presiden Jokowi adalah orang nomor satu di negeri ini yang bawaan gerak geriknya humble tanpa dibuat-buat.

Walhasil, upaya Presiden Jokowi untuk menarik Prabowo Subianto dalam irama yang sama dalam menyikapi dinamika politik yang memanas di DKI tampaknya tak bertepuk sebelah tangan. Pernyataan Prabowo Subianto yang mengamini Presiden Jokowi untuk mencegah terjadinya kekacauan dan anarki dalam demo 4 November yang akan datang bisa dijadikan indikasinya. Kendati masih perlu dibuktikan di lapangan nanti, tetapi saya kira gestur politik dari kunjungan di Hambalang memperkuat kepercayaan diri Presiden Jokowi dalam menghadapi demo tersebut.

Blusukan ke atas ala Presiden Jokowi adalah strategi komunikasi politik yang menarik untuk dicermati sebagai upaya kreatif menerapkan kearifan budaya Indonesia dalam mengelola pemerintahan dan menyelesaikan konflik (conflict resolution). Sejauh mana pendekatan ini akan efektif untuk merangkul lawan dalam rangka meredakan ketegangan politik saat ini dan yang akan datang? Kita lihat saja hasilnya dalam beberapa hari ini. (*)