Pizza Hut

Kastara.ID, Jakarta – PT Sarimelati Kencana Tbk sebagai pemegang hak lisensi tunggal restoran cepat saji Pizza Hut di Indonesia menegaskan tidak terpengaruh dengan kondisi di Amerika Serikat (AS). Sekretaris Perusahaan PT Sarimelati Kencana Tbk Kurniadi Sulistyomo menyatakan, pihaknya tidak memiliki hubungan afiliasi dengan NPC Internasional, perusahaan pemilik merek dagang Pizza Hut.

Saat memberikan keterangan, Jumat (3/7), Kurniadi mengatakan, apa pun yang diputuskan pengadilan di AS tidak akan mempengaruhi Pizza Hut Indonesia. Dilansir dari Antara, Kurniadi berharap para investor menelaah dan mempelajari situasi terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.

Kurniadi menambahkan, PT Sarimelati Kencana menyerahkan fluktuasi harga dan pergerakan saham kepada mekanisme pasar. Terkait permasalahan kepailitan NPC International yang terjadi di Amerika Serikat, Kurniadi menegaskan bahwa perkara tersebut bersifat terpisah. Terlebih menurut Kurniadi, pihaknya tidak mengetahui bagaimana proses kepailitan yang menimpa NPC terjadi.

Pantauan di pasar saham, sejak Kamis (2/7), emiten berkode PZZA anjlok hingga 55 poin atau 6,88 persen. Harga saham PZZA pun merosok hingga level Rp 745 per lembar saham. Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 613 kali transaksi. Jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 1,9 juta lembar saham senilai Rp 1,45 miliar.

Anjloknya harga saham PZZA terus berlanjut hingga Jumat (3/7) pagi. PZZA terpantau melemah 20 poin atau 2,68 persen dan hanya dijual dengan harga Rp 725 per lembar saham. Sebenarnya dalam tiga bulan terakhir saham PZZA meningkat 39,25 persen. Namun dalam sepekan terakhir mengalami koreksi 15,82 persen.

Sebelumnya pada Rabu (1/7), NPC International Inc mengajukan perlindungan kebangkrutan. Hal ini akibat restoran yang menyajikan pizza terpopuler di dunia itu tak tahan akibat pandemi Covid-19. Kepala eksekutif dan presiden divisi Pizza Hut NPC, Jon Weber dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa perusahaan memiliki utang sebesar 903 juta dolar AS.

Perusahaan telah melakukan pra-negosiasi perjanjian restrukturisasi utang. Sekitar 90 persen berasal dari pinjaman klien pertama dan 17 persen dari pemberi pinjaman kedua. Jon Weber berdalih meningkatnya biaya komoditas dan tingkat leverage keuangan yang lebih tinggi menyebabkan perusahaan menghadapi tekanan yang cukup berat. (mar)