UIN Sunan Kalijaga

Kastara.ID. Jakarta – Disertasi, mahasiswa doktoral UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abdul Aziz, berhasil viral dan menuai kontroversi. Pasalnya disertasi tersebut menyimpulkan bahwa hubungan intim di luar pernikahan diperbolehkan.

Disertasi tentang ‘konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur sebagai keabsahan hubungan seksual nonmarital’ berhasil menggegerkan dunia maya. Sejumlah tokoh, bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara.

Diwakili oleh Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Masduki Baidlowi, Selasa (3/9), MUI menilai bahwa disertasi tersebut perlu dikaji lebih dalam sebab tidak mempunyai kekuatan fatwa.

MUI juga menyarankan agar masyarakat tetap tenang dan tidak membuat kegaduhan. Sebab kajian disertasi ini juga harus dilakukan secara mendalam terutama dalam konteks hukum.

Selain itu, Baidlowi menjelaskan bahwa konsep perbudakan sudah tidak ada. Sementara ayat yang menjelaskan soal perbudakan itu diturunkan ketika perbudakan di zaman Nabi masih ada. Itulah sebabnya ayat tersebut dianggap sudah tidak relevan.

Memang benar bahwa ada ayat yang membolehkan mempergauli istri dan budak-budak perempuan. Tapi ketika itu perbudakan sudah menjadi bagian jadi kebudayaan masa lalu sebab konsep perbudakan sudah tidak eksis saat ini.

Apalagi, dia menegaskan bahwa agama Islam mengandung semangat progresif untuk menghapuskan konsep perbudakan. Maka dari itu, untuk menafsirkan ayat perbudakan, tak boleh hanya berkutat pada teks saja.

Ditegaskannya lagi bahwa disertasi yang membuat heboh itu sebaiknya dikaji terlebih dahulu. MUI berusahan melakukan kajian secara mendalam perihal kontroversi yang beredar luas.

Khoiruddin Nasution, selaku promotor disertasi juga menjelaskan bahwa penelitian Abdul Aziz mengkaji konsep milk al-yamin yang digagas Muhammad Syahrur. Syahrur ialah warga Syiria yang pernah menetap lama di Rusia, negara yang bebas dalam urusan pernikahan.

Secara harfiah, milk al-yamin dapat diartikan sebagai ‘kepemilikan tangan kanan’ atau ‘kepemilikan penuh’. Fukaha masa lalu mengartikan milk al-yamin sebagai wewenang pemilik atas jariyah (budak perempuan) untuk mengawininya, namun ia wajib berlaku adil.

Sementara itu, Syahrur juga memiliki penafsiran berbeda mengenai konsep milk al-yamin. Menurut Syahrur tidak hanya budak yang boleh dikawini, namun juga mereka yang diikat dengan kontrak hubungan seksual. Pandangan Syahrur inilah yang dikaji Abdul Aziz dalam disertasinya.

Promotor lainnya, Sahiron menambahkan bahwa persoalan utama terletak pada subjektivitas penafsir yang berlebihan terhadap ayat-ayat al-Quran tentang milk al-yamin atau yang semisalnya cukup problematik. (rya)