Oleh: Linda Christanty

RENTETAN peristiwa demokrasi di Indonesia belakangan ini telah melahirkan dentuman sejarah yang menghasilkan local genius (kearifan lokal), yang kita sebut Revolusi Perempuan.

Revolusi Perempuan adalah ketika perempuan turut aktif dan berhasil melakukan perubahan mendasar dan menjadi suatu kekuatan laten yang beroposisi terhadap kekuasaan.

Kekuatan kaum perempuan ini tidak hanya menentukan gagal atau berhasilnya suatu pemerintahan, tetapi juga salah atau benarnya pemerintahan tersebut.

Sebelum Perang Dunia II, kita mengenal Empat Kebebasan dari Roosevelt yang menjelaskan empat hak asasi manusia yang paling mendasar dan ukuran keberhasilannya adalah pemenuhan hak-hak asasi perempuan.

Di Indonesia, kaum perempuan saat ini telah bergerak lebih maju dibandingkan pada masa Roosevelt. Mereka telah mendorong isu-isu perempuan keluar dari pintu rumahnya, dengan melakukan suatu tindakan kepedulian yang bersifat visioner untuk bangsa dan rakyatnya.

Kaum perempuan Indonesia tidak menginginkan bangsanya terpecah-belah oleh konflik, adu domba dan ancaman bahaya yang berasal dari dalam dan dari luar negerinya. Kaum perempuan Indonesia juga menuntut pemerintahnya harus mampu memakmurkan rakyat saat ini juga, dengan memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan hak-hak asasi manusia. Kaum perempuan Indonesia menuntut agar di luar pintu rumahnya, siapa pun harus bebas berbicara, berserikat dan berkumpul tanpa kecemasan, tidak dipersekusi dan tidak diseret ke peradilan pidana. Kaum perempuan Indonesia juga menuntut pemerintah tidak boleh tidak harus mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan dan tidak melanggar hukum. Kaum perempuan Indonesia menuntut pemerintah tidak boleh memata-matai, mencurigai, mengurung dan memenjarakan pikiran manusia untuk kepentingan kekuasaan.

Peran kaum perempuan revolusioner telah terbukti dalam melakukan mobilisasi politik dan ide-ide perjuangan di Indonesia pasca Soeharto ketika mereka turut aktif menggerakkan jutaan orang turun ke jalan secara damai, tertib, rapi dan bersih yang menunjukkan praktik demokrasi yang berkualitas di era ini. Pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dan dunia, peran kaum perempuan sangat nyata memberikan watak revolusi yang bermartabat, yaitu damai, tertib, rapi dan bersih. Mobilisasi jutaan massa yang memrotes tingkah polah kekuasaan yang provokatif, pongah dan memecah belah negeri ini telah terjadi beberapa kali dan kaum perempuan menjadi tulang punggung perjuangan ini.

Dengan demikian, revolusi ini kita namai Revolusi Perempuan atau Revolusi Putih, yang ternyata warna putih ini juga menjadi warna favorit dan diperebutkan oleh tiga kubu dalam politik Indonesia kontemporer: kubu oposisi, kubu petahana, dan Golongan Putih (Golput).

Revolusi Perempuan atau Revolusi Putih menjadi sebuah revolusi yang terus ada dalam sejarah peradaban manusia.

Santa Maria Magdalena, selain Maryam ibunda Isa Almasih yang juga disebut Perawan Suci Maria atau Madonna dalam tradisi Kristiani, adalah tokoh perempuan pejuang terpenting dalam sejarah Kristiani. Sedemikian pentingnya sosok ini banyak gereja di Eropa didedikasikan untuk dirinya sebagai simbol perempuan ke-Ilahi-an yang aktif berjuang penuh pengorbanan untuk menyampaikan pesan kenabian. Paus di Vatikan telah menghapus stigma buruk atas diri Santa Maria Magdalena dan mengembalikan nama baik serta martabatnya, lalu menetapkan dirinya sebagai orang suci. Paus juga melakukan hal yang sama terhadap tokoh perempuan pejuang Perang 100 Tahun di Eropa, Santa Joan of Arc, dengan juga mencabut stigma buruk bahwa dia adalah seorang penyihir lalu menetapkan Santa Joan of Arc sebagai orang suci.

Hugh Nigel Kennedy, seorang sejarawan Inggris, dalam bukunya, “The Great Arab Conquests: How the Spread of Islam Changed the World We Live In”, menjelaskan munculnya fenomena yang menakjubkan dalam sejarah dunia. Dia menulis bahwa tidak sampai 20 tahun setelah Nabi Muhammad wafat, Islam telah tersebar luas ke sepertiga dunia. Salah satu sosok terpenting dalam kelahiran dan perjuangan ajaran ini adalah Khadijah, yang berpikiran sangat luas dan jauh ke depan. Dia mengorbankan seluruh harta benda dan ketentramannya untuk mewujudkan misi suci ke-Ilahi-an itu kepada seluruh umat manusia. Khadijah adalah ibu kaum beriman dan kaum yang menyerahkan dirinya kepada Allah dalam tradisi Islam. Nabi Muhammad, suami Khadijah, menyatakan bahwa hancur atau jayanya suatu kaum ditentukan oleh kualitas kaum perempuan mereka.

Dalam peradaban bangsa-bangsa di Amerika Utara, kita mengenal salah satu bangsa yang paling berani dan gigih, yaitu bangsa Cheyenne. Bangsa ini meletakkan hidup mati bangsanya kepada hati perempuan. Pepatah leluhur bangsa Cheyenne berbunyi seperti ini: “Sebuah bangsa tidak dapat ditaklukkan hingga hati para perempuannya takluk. Setelah itu segalanya berakhir, tak peduli seberapa beraninya para pejuang ataupun seberapa canggihnya senjata mereka.”

Pasukan komando bangsa Cheyenne, yang dikenal sebagai “Tentara-Tentara Anjing”, menjalankan tradisi untuk mengorbankan diri dan bertempur sampai mati demi menyelamatkan kaum perempuan dan kaum ibu mereka. Bangsa ini dianggap sebagai ras yang paling unik di seluruh padang rumput Amerika Utara karena pengagungan perempuan dalam peradaban mereka.

Salah satu pejuang legendaris bangsa Kurdi dan pejuang revolusioner gerakan sosialisme Kurdi, Abdullah Ocalan, menyatakan bahwa peran perempuan adalah peran strategis dalam revolusi. Revolusi Perempuan, menurut Ocalan, adalah revolusi paling penting dalam keseluruhan perjuangan revolusioner suatu bangsa. Keberhasilan revolusi suatu bangsa ditentukan oleh keberhasilan revolusi perempuannya.

Bung Karno, Bapak Bangsa Indonesia, menyatakan “Setialah kepada mata air penderitaan rakyatmu, seperti setianya sungai kepada lautan.”

Jutaan kaum perempuan keluar dari pintu-pintu rumah mereka, karena kesetiaan terhadap rakyatnya, terpanggil untuk mengakhiri penderitaan rakyat yang telah menyentuh relung hati dan menggerakkan mereka untuk memimpin perubahan besar di Indonesia. Karena kaum perempuan Indonesia menyadari bahwa dari rahim suci merekalah lahir para martir, syuhada dan pahlawan pemberani yang telah mengorbankan jiwa raga untuk Tanah Air. Mereka menjadi saksi pengulangan-pengulangan kesalahan dan kerusakan, juga upaya-upaya menghindari tanggung jawab yang terus berlangsung dalam praktik kekuasaan.

Tentara dan polisi di negara manapun di muka bumi ini khususnya yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dalam keadaan apa pun dan dengan alasan apa pun tidak dibenarkan untuk mengarahkan moncong sejatanya apalagi menembakkan peluru (:peluru karet, peluru plastiK, peluru tajam, gas air mata, cairan berbahaya dan segala jenis yang membahayakan fisik maupun psikis manusia) kepada kaum perempuan, anak-anak dan orang-orang tua, walaupun dalam keadaan perang terbuka. Hal ini sudah ditetapkan dalam Hukum Humaniter dan Konvensi Jenewa serta Piagam, Statuta, Konvenan dan Perjanjian Internasional yang mengikat semua anggota PBB tanpa terkecuali. Karena dengan asap mesiu dan genangan darah, pada akhirnya kita tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali perlawanan dan dendam kesumat. Setiap penindasan akan membangkitkan seribu tahun perlawanan.

Menembak kaum perempuan adalah menembak kaum ibu sendiri, karena kaum perempuan adalah ibu dari kemenangan dan revolusi.

Kita pun selalu teringat sebuah puisi penyair Prancis yang pernah berkelana sampai ke Pulau Jawa, Arthur Rimbaud, yang berbicara tentang masa depan yang harus diperjuangkan dengan gigih dan penuh kesabaran: “In the dawn, armed with a burning patience, we shall enter the splendid cities”.

“Saat fajar menyingsing, dipersenjatai kesabaran yang membara, kita akan memasuki kota-kota yang bermandikan cahaya.”

Tanpa Revolusi Perempuan, kita tidak akan memasuki kota-kota bermandikan cahaya. (*)

*Jurnalis, Penulis